Wafat tanpa Anak tapi Punya Enam Saudara Perempuan, Bagaimana Warisnya? Tanya Jawab Hukum Waris Islam oleh Dr Dian Berkah SHI MHI; Wakil Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim, dosen FAI Universitas Muhammadiyah Surabaya, dan founder Waris Center.
Tarjihjatim.pwmu.co – Ada seorang yang wafat tanpa anak. Bagaimana pembagian hartanya kalau punya enam saudara perempuan (semua masih hidup) dan satu laki-laki (sudah meninggal) yang meninggal tidak punya orang tua?
Jawaban
Alhamdulillah dan terima atas pertanyaannya. Semoga langkah ini menjadi amal shaleh dan ilmu yang bermanfaat.
Dalam kewarisan Islam, jika ada seseorang meninggal dunia, sementara si mayit memiliki harta dan tidak memiliki anak, maka status warisnya dikenal dengan waris kalalah. Keadaan seperti ini sebagai ketetapan hukum dari Allah dalam an-Nisa 176.
Dalam hal ini, si mayit tidak memiliki anak, tetapi si mayit memiliki saudara kandung. Dengan demikian yang menjadi ahli waris dari si mayit adalah saudara kandungnya. Tentu, ada ahli waris lainnya yaitu orang tua (ibu dan bapak) si mayit, berdasarkan ketentuan waris dalam an-Nisa 12.
Ayat tersebut menjelaskan bagian waris saudara si mayit. Namun perlu dicatat, saudara si mayit yang dimaksud adalah saudara seibu. Berbeda tentunya, jika saudara si mayit adalah saudara kandung. Maka bagian warisnya bisa merujuk secara langsung dalam an-Nisa 176.
Berdasarkan pertanyaan yang disampaikan, si mayit adalah saudara laki-laki, yang memiliki enam saudara kandung perempuan. Tentu ahli waris lainnya adalah orang tua si mayit, jika orang tua si mayit masih hidup.
Distribusi harta warisnya diberikan kepada Ibu sebesar 1/6 dari harta waris (an-Nisa 12). Harta waris juga diberikan kepada seluruh saudara kandung perempuan dengan berserikat pada bagian 2/3 dari harta waris (an-Nisa 176). Sisa harta warisnya diberikan kepada ayah si mayit (an-Nisa 12).
Sebagai catatan, perhitungan distribusi harta warisnya berbeda jika orang tua si mayit sudah meninggal dunia. Coba pastikan, apakah orang tua dari bapak dan ibu si mayit juga sudah tidak ada (meninggal). Jika mereka sudah meninggal, maka ahli warisnya si mayit hanya enam saudara kandung perempuan si mayit.
Enam saudara kandung si mayit tetap mendapatkan distribusi harta waris sebesar 2/3 dari harta waris si mayit (an-Nisa 176). Hasilnya dibagi rata kepada enam saudara kandung perempuan si mayit.
Lalu, bagaimana dengan sisa 1/3 dari harta si mayit? Tentu jawabannya bisa dilihat dalam an-Nisa 8. Ayat tersebut menjelaskan dan memberikan solusi dari kasus waris yang dipertanyakan. Memang ahli waris sudah tidak ada lagi,kecuali enam saudara kandung perempuan si mayit.
Banyak terjadi di masyarakat, pembagian waris seperti ini diberikan kepada semua ahli warisnya. Padahal, ada petunjuk dari Allah yang menjadi petunjuk dan solusi untuk persoalan waris seperti ini. Sebut saja, an-Nisa 8 sebagaimana tersebut sebelumnya. Allah menjelaskan, “Ketika ada saudara kandung, anak-anak yatim, orang-orang miskin, maka berilah rezeki dari bagian waris, dan berkatalah yang makruf (baik).
Tentu dalam implementasinya, ahli waris (seluruh saudara kandung si mayit) bermusyawarah untuk memberikan sisa harta warisnya yang ada kepada mereka yang disebutkan dalam an-Nisa 8 tersebut. Di sinilah nilai sosial dari harta waris itu sendiri. Opportunities (peluang) dari waris Islam yang ada di Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, yakni adanya nilai sosial dari harta waris, di samping zakat, infak, sedekah, dan wakaf.
Dalam hal ini, bukankah si mayit, ahli waris, dan kita membutuhkan amal shaleh ketika sudah meninggal dunia. Amal shaleh yang sustainable (terus mengalir) berupa sedekah jariah yang diberikan kepada anak yatim dan orang miskin. Terlebih posisi mereka semua masih ada hubungan dengan si mayit.
Karena itu, dalam kewarisan Islam, harta waris itu tidak hanya distribusi (bagi-bagi harta) dan habis. Harta waris harus bisa dikelola menjadi harta yang produktif. Usaha waris yang menjadi milik ahli waris dan dikelola sesuainya dengan prinsip syariah. Keuntungan hasil usahanya dapat didistribusikan untuk ahli waris, pengembangan usaha, dan orang lain.
Harta Waris Produktif
Dalam buku saya Hukum Kewarisan Islam: Teori dan Praktik Mengelola Harta Waris Produktif (Waris Aset Managemen), harta waris dapat dikelola menjadi harta waris yang produktif sesuai dengan prinsip syariah, baik yang bersifat komersial maupun bersifat sosial. Salah satu di antara pengelolaan harta waris bersifat komersial (bisnis) adalah harta waris dapat dikelola secara bersama ahli waris dengan model syirkah.
Keuntungan yang didapat (nisbah) dapat didistribusikan kepada seluruh ahli waris berdasarkan porsi kepemilikannya. Nisbah bisa juga didistribusikan berdasarkan kesepakatan ahli waris. Tentu ada model pengelolaan harta waris produktif lainnya yang disesuaikan dengan pola bisnisnya.
Selain dikelola secara bisnis, harta waris bisa dikelola bersama untuk kepentingan sosial (islamic sosial finance)yangbBertujuan untuk memberikan pahala yang terus mengalir bagi si mayit. Dalam hal ini, harta waris dapat dikelola dengan model instrumen wakaf (insiyab al-mirast bi al–waqaf).
Dengan model wakaf, harta waris bisa diserahkan sepenuhnya atau diserahkan secara temporer (waktu tertentu saja) kepada nazdhir (pengelola wakaf). Sehingga keuntungannya diberikan sepenuhnya untuk kebutuhan sosial Islam (masyarakat). Bisa juga, harta waris tetap menjadi milik ahli waris, hanya saja keuntungannya diberikan sepenuhnya untuk kebutuhan sosial Islam. Tentu semuanya dimusyawarahkan oleh ahli waris, cara mana yang terbaik untuk dipilih. Tentu terbaik untuk semuanya, si mayit, ahli waris, dan masyarakat (umat).
Demikian penjelasannya sebagai jawaban dari pertanyaan waris yang disampaikan. Semoga Allah mudahkan setiap langkah kita dalam mempersiapkan harta waris didistribusikan dan dikelola menurut hukum waris Islam (ilmu faraidh).Amin. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni