Mendapat WA Tahlilan Bukan Bidah, Bagaimana Menyikapinya? Tanya jawab agama diasuh oleh Dr Zainuddin MZ Lc MA, Ketua Lajnah Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
Tarjihjatim.pwmu.co – Saya menerima posting WhatsApp (WA) seperti ini. Mohon penejelasan Ustadz tentang hal ini. Terima kasih.
Isi WhatsApp
Tahlilan hari ke-3, 7, 25, 40, setahun, dan 1000 bukan bid’ah, dipraktikkan Umar dan ulama salaf.
Inilah dalil tahlilan di hari ke-3, 7, 25, 40, 100, setahun dan 1000 dari kitab Ahlusunnah wal Jama’ah (bukan kitab dari agama Hindu sebagaimana tuduhan fitnah kaum Wahabi)
قال ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻫﺪﻳﺔ ﺇﻟﻰﺍﻟﻤﻮتى
قال ﻋﻤﺮ : ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺪﻓﻨﻰ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎم واﻟﺼﺪﻗﺔ ﻓﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻳﺒﻘﻰ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺳﺒﻌﺔ ﺃﻳﺎم واﻟﺼﺪﻗﺔ ﻳﻮم ﺍﻟﺴﺎﺑﻊ ﻳﺒﻘﻰ ﺛﻮاﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺧﻤﺲ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﻳﻮﻣﺎ وﻣﻦ ﺍﻟﺨﻤﺲ وﻋﺸﺮﻳﻦ ﺇﻟﻰ ﺃﺭﺑﻌﻴﻦ ﻳﻮﻣﺎ وﻣﻦ ﺍﻷﺭﺑﻌﻴﻦ ﺇﻟﻰ ﻣﺎﺋﺔ وﻣﻦ ﺍﻟﻤﺎﺋﺔ ﺇﻟﻰ ﺳﻨﺔ وﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺇﻟﻰ ﺃﻟﻒ عام (الحاوي للفتاوي ,ج:۲,ص: ١٩٨
Rasulullah SAW bersabda: “Doa dan sedekah itu hadiah kepada mayit.”
Umar berkata: “Sedekah setelah kematian maka pahalanya sampai tiga hari, sedekah dalam tiga hari akan tetap kekal pahalanya sampai tujuh hari, sedekah tujuh hari akan kekal pahalanya sampai 25 hari dan dari pahala 25 sampai 40 harinya akan kekal hingga 100 hari dan dari 100 hari akan sampai kepada satu tahun dan dari satu tahun sampailah kekalnya pahala itu hingga 1000 hari.”
Referensi: Al-Hawi lil Fatawi: Juz II Hal 198.
Jumlah-jumlah harinya (3, 7, 25, 40, 100, setahun, dan 1000 hari) jelas ada dalilnya, sejak kapan agama Hindu ada tahlilan?
Berkumpul ngirim doa adalah bentuk sedekah buat mayit.
ﻓﻠﻤﺎ ﺍﺣﺘﻀﺮ ﻋﻤﺮ ﺃﻣﺮ ﺻﻬﻴﺒﺎ ﺃﻥ ﻳﺼﻠﻲ ﺑﺎﻟﻨﺎﺱ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ، ﻭﺃﻣﺮ ﺃﻥ ﻳﺠﻌﻞ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﻃﻌﺎﻡ، ﻓﻴﻄﻌﻤﻮﺍ ﺣﺘﻰ ﻳﺴﺘﺨﻠﻔﻮﺍ ﺇﻧﺴﺎﻧﺎ، ﻓﻠﻤﺎ ﺭﺟﻌﻮﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻨﺎﺯﺓ ﺟﺊ ﺑﺎﻟﻄﻌﺎﻡ ﻭﻭﺿﻌﺖ ﺍﻟﻤﻮﺍﺋﺪ! ﻓﺄﻣﺴﻚ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻨﻬﺎ ﻟﻠﺤﺰﻥ ﺍﻟﺬﻱ ﻫﻢ ﻓﻴﻪ، ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﻌﺒﺎﺱ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻤﻄﻠﺐ: ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺇﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺪ ﻣﺎﺕ ﻓﺄﻛﻠﻨﺎ ﺑﻌﺪﻩ ﻭﺷﺮﺑﻨﺎ ﻭﻣﺎﺕ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻓﺄﻛﻠﻨﺎ ﺑﻌﺪﻩ ﻭﺷﺮﺑﻨﺎ ﻭﺇﻧﻪ ﻻﺑﺪ ﻣﻦ ﺍﻻﺟﻞ ﻓﻜﻠﻮﺍ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ، ﺛﻢ ﻣﺪ ﺍﻟﻌﺒﺎﺱ ﻳﺪﻩ ﻓﺄﻛﻞ ﻭﻣﺪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺃﻳﺪﻳﻬﻢ ﻓﺄﻛﻠﻮﺍ
Ketika Umar menjelang wafat, ia memerintahkan pada Shuhaib untuk memimpin shalat, dan memberi makan para tamu selama 3 hari hingga mereka memilih seseorang, maka ketika hidangan-hidangan ditaruhkan, orang-orang tak mau makan karena sedihnya, maka Abbas bin Abdul Muttalib berkata: Wahai hadirin, sungguh telah wafat Rasulullah SAW dan kita makan dan minum setelahnya, lalu Abubakar wafat dan kita makan dan minum sesudahnya, dan ajal itu adalah hal yang pasti, maka makanlah makanan ini!”. Lalu beliau mengulurkan tangannya dan makan, maka orang-orang pun mengulurkan tangannya masing-masing dan makan.
Baca Juga: Bahaya Ideologi Wahabi dan Khawarij yang Sesat dan Menyesatkan, Ini Dampaknya.
Referensi: Al Fawaidus Syahiir Li Abi Bakar Assyafii juz 1 hal 288, Kanzul Ummal fi Sunanil Aqwal wal Af’al: Juz 13 hal 309, Thabaqat Al Kubra Li Ibn Sa’ad: Juz 4 hal 29, Tarikh Dimasyqa: juz 26 hal 373, Al Ma’rifah wat Tarikh: Juz 1 hal 110]
Kemudian dalam kitab Imam As Suyuthi, Al-Hawi li al-Fatawi:
قال طاووس: ﺍﻥ ﺍﻟﻤﻮﺗﻰ ﻳﻔﺘﻨﻮﻥ ﻓﻲ ﻗﺒﻮﺭﻫﻢ ﺳﺒﻌﺎ ﻓﻜ ﻓﻜﺎﻧﻮﺍ ﻳﺴﺘﺤﺒﻮﻥ ﺍﻥ ﻳﻄﻌﻤﻮﺍ ﻋﻨﻬﻢ ﺗﻠﻚ ﺍﻻﻳﺎﻡ
Imam Thawus berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia diuji dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabat) gemar menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut.”
ﻋﻦ ﻋﺒﻴﺪ ﺑﻦ ﻋﻤﻴﺮ ﻗﺎﻝ : ﻳﻔﺘﻦ ﺭﺟﻼﻥ ﻣﺆﻣﻦ ﻭﻣﻨﺎﻓﻖ , ﻓﺎﻣﺎ ﺍﻟﻤﺆﻣﻦ ﻓﻴﻔﺘﻦ ﺳﺒﻌﺎ ﻭﺍﻣﺎﺍﻟﻤﻨﺎﻓﻖ ﻓﻴﻔﺘﻦ ﺍﺭﺑﻌﻴﻦ ﺻﺒﺎﺣﺎ
Ubaid bin Umair berkata: “Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafik memperoleh fitnah kubur. Seorang mukmin difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafik disiksa selama empat puluh hari.”
Dalam tafsir Ibn Katsir (Abul Fida Ibn Katsir al Dimasyqi Al Syafi’i) 774 H beliau mengomentari ayat 39 surah an Najm (IV/236: Dar al-Quthb), beliau mengatakan, Imam Syafi’i berkata bahwa tidak sampai pahala itu, tapi di bagian akhirnya beliau berkomentar lagi:
ﻓﺄﻣﺎ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻓﺬﺍﻙ ﻣﺠﻤﻊ ﻋﻠﻰ ﻭﺻﻮﻟﻬﻤﺎ ﻭﻣﻨﺼﻮﺹ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ
Doa dan sedekah disepakati sampai kepada mayit sebagaimana yang telah dinash kan.
Bacaan al-Qur’an yang dihadiahkan kepada mayit itu sampai. Menurut Imam Syafi’i pada waktu beliau masih di Madinah dan di Baghdad, pendapat beliau sama dengan Imam Malik dan Imam Hanafi, bahwa bacaan al-Qur’an tidak sampai ke mayit.
Setelah beliau pindah ke Mesir, beliau ralat perkataan itu dengan mengatakan bacaan Al-Qur’an yang dihadiahkan ke mayit itu sampai dengan ditambah berdoa “Allahumma awshil ….” Lalu murid beliau Imam Ahmad dan kumpulan murid-murid Imam Syafi’i yang lain berfatwa bahwa bacaan al-Qur’an sampai.
Pandangan Hanabilah, Taqiyuddin Muhammad ibnu Ahmad ibnu Abdul Halim (yang lebih populer dengan julukan Ibnu Taimiyah dari madzhab Hambali) menjelaskan:
ﺍﻣَّﺎ ﺍﻟﺼَّﺪَﻗَﺔُ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﻓَـِﺎﻧَّﻪُ ﻳَﻨْـﺘَـﻔِﻊُ ﺑِﻬَﺎ ﺑِﺎﺗِّـﻔَﺎﻕ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ. ﻭﻗَﺪْ ﻭﺭﺩﺕ ﺑِﺬٰﻟِﻚَ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ُﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭﺳَﻠَّﻢَ ﺍﺣَﺎ ﺩﻳْﺚُ ﺻَﺤِﻴْﺤَﺔٌ ﻣِﺜْﻞُ ﻗَﻮْﻝ ﺳَﻌْﺪٍ ( ﻳَﺎ ﺭﺳُﻮْﻝ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻥ ﺍﻣِّﻲْ ﺍﻓْﺘـُﻠِﺘـَﺖْ ﻧَﻔْﺴُﻬَﺎ ﻭﺍﺭﺍﻫَﺎ ﻟَﻮْ ﺗَـﻜَﻠَّﻤَﺖْ ﺗَﺼَﺪَّﻗَﺖْ ﻓَﻬَﻞْ ﻳَﻨْـﻔَـﻌُﻬَﺎ ﺍﻥ ﺍﺗَـﺼَﺪَّﻕ ﻋَﻨْﻬَﺎ ؟ ﻓَﻘَﺎﻝ: ﻧَـﻌَﻢْ , ﻭﻛَﺬٰﻟِﻚَ ﻳَـﻨْـﻔَـﻌُﻪُ ﺍﻟْﺤَﺞُّ ﻋَﻨْﻪُ ﻭﺍﻻُ ﺿْﺤِﻴَﺔُ ﻋَﻨْﻪُ ﻭﺍﻟْﻌِﺘْﻖُ ﻋَﻨْﻪُ ﻭﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀ ﻭﺍﻻِﺳْﺘِـْﻐفار ﻟَﻪُ ﺑِﻼَ نزاع ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻷَﺋِﻤَّﺔِ .
“Adapun sedekah untuk mayit, maka ia bisa mengambil manfaat berdasarkan kesepakatan umat Islam, semua itu terkandung dalam beberapa hadits shahih dari Nabi Saw. seperti perkataan sahabat Sa’ad “Ya Rasulallah sesungguhnya ibuku telah wafat, dan aku berpendapat jika ibuku masih hidup pasti ia bersedekah, apakah bermanfaat jika aku bersedekah sebagai gantinya?” maka Beliau menjawab “Ya”, begitu juga bermanfaat bagi mayit: haji, kurban, memerdekakan budak, doa dan istighfar kepadanya, yang ini tanpa perselisihan di antara para imam”.
Referensi: Majmu’ al-Fatawa: XXIV/314-315.
Ibnu Taimiyah juga menjelaskan perihal diperbolehkannya menyampaikan hadiah pahala shalat, puasa dan bacaan al-Qur’an kepada:
ﻓَﺎِﺫﺍ ﺍﻫْﺪِﻱ ﻟِﻤَﻴِّﺖٍ ﺛَﻮَﺍﺏ ﺻِﻴﺎَﻡ ﺍ ﻭ ﺻَﻼَﺓ ﺍﻭ ﻗِﺮَﺋَﺔٍ ﺟَﺎﺯ ﺫﻟِﻚَ
Artinya: “Jika saja dihadiahkan kepada mayit pahala puasa, pahala shalat atau pahala bacaan (al-Qur’an / kalimah thayibah) maka hukumnya diperbolehkan”.
Referensi: Majmu’ al-Fatawa: XXIV/322
Baca juga: Bantahan Terhadap Firanda Andirja atas Kritikan Kepada Ustadz Abdul Somad
Al-Imam Abu Zakariya Muhyiddin Ibn al-Syaraf, dari madzhab Syafi’i yang terkenal dengan panggilan Imam Nawawi menegaskan;
ﻳُﺴْـﺘَـﺤَﺐُّ ﺍﻥ ﻳَـﻤْﻜُﺚَ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟﻘَﺒْﺮِ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﺪُّﻓْﻦِ ﺳَﺎﻋَـﺔً ﻳَﺪْﻋُﻮْ ﻟِﻠْﻤَﻴِّﺖِ ﻭﻳَﺴْﺘَﻐْﻔِﺮُ لﻩَ. ﻧَـﺺَّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻰُّ ﻭﺍﺗَّﻔَﻖَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻻَﺻْﺤَﺎﺏ ﻗَﺎﻟﻮُﺍ: ﻳُﺴْـﺘَـﺤَﺐُّ ﺍﻥ ﻳَـﻘْﺮَﺃ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﺷَﻴْﺊٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻘُﺮْﺃﻥ ﻭﺍﻥ خَتَمُوْا اْلقُرْآنَ كَانَ اَفْضَلَ ) المجموع جز 5 ص 258(
“Disunahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendo’akan dan memohonkan ampunan kepadanya”. Pendapat ini disepakati oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “Sunah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayit, dan lebih utama jika sampai menghatamkan al-Qur’an”.
Selain paparannya di atas Imam Nawawi juga memberikan penjelasan yang lain seperti tertera di bawah ini;
ﻭﻳُـﺴْـﺘَﺤَﺐُّ ﻟِﻠﺰَّﺍﺋِﺮِ ﺍﻥ ﻳُﺴَﻠِّﻢَ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟﻤَﻘَﺎﺑِﺮِ ﻭﻳَﺪْﻋُﻮْ ﻟِﻤَﻦْ ﻳَﺰُﻭﺭﻩُ ﻭﻟِﺠَﻤِﻴْﻊِ ﺍﻫْﻞِ ﺍﻟﻤَﻘْﺒَﺮَﺓ. ﻭﺍﻻَﻓْﻀَﻞُ ﺍﻥ ﻳَﻜُﻮْﻥ ﺍﻟﺴَّﻼَﻡ ﻭﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀ ﺑِﻤَﺎ ﺛَﺒـَﺖَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺤَﺪِﻳْﺚِ ﻭﻳُﺴْـﺘَـﺤَﺐُّ ﺍﻥ ﻳَﻘْﺮَﺃ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻘُﺮْﺃﻥ ﻣَﺎ ﺗَﻴَﺴَّﺮَ ﻭﻳَﺪْﻋُﻮْ ﻟَﻬُﻢْ ﻋَﻘِﺒَﻬَﺎ ﻭﻧَﺺَّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺸَّﺎِﻓﻌِﻰُّ ﻭﺍﺗَّﻔَﻖَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻻَﺻْﺤَﺎﺏ. (ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻉ ﺟﺰ 5 ص 258 )
“Dan disunahkan bagi peziarah kubur untuk memberikan salam atas (penghuni) kubur dan mendoakan kepada mayit yang diziarahi dan kepada semua penghuni kubur, salam dan doa itu akan lebih sempurna dan lebih utama jika menggunakan apa yang sudah dituntunkan atau diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. dan disunahkan pula membaca al-Qur’an semampunya dan diakhiri dengan berdoa untuknya. Keterangan ini dinas oleh Imam Syafi’i (dalam kitab al-Um) dan telah disepakati oleh pengikut-pengikutnya”.
Referensi: Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab: V/258.
Baca Juga: Join Channel Tetelgarm Aswaja, Tinggalkan Media Wahabi dan Syi’ah
Al-‘Allamah al-Imam Muwaffiquddin ibn Qudamah dari madzhab Hambali mengemukakan pendapatnya dan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal
ﻗَﺎﻝ : ﻭﻻَ ﺑَﺄْﺱ ﺑِﺎﻟْﻘِﺮﺍﺀﺓ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻘَﺒْﺮِ . ﻭﻗَﺪْ ﺭﻭﻱ ﻋَﻦْ ﺍﺣْﻤَﺪَ ﺍﻧَّـﻪُ ﻗَﺎﻝ: ﺍﺫﺍ ﺩﺧَﻠْﺘﻢُ ﺍﻟْﻤَﻘَﺎﺑِﺮَ ﺍﻗْﺮَﺋُﻮْﺍ ﺍﻳـَﺔَ ﺍﻟﻜُـْﺮﺳِﻰِّ ﺛَﻼَﺙ ﻣِﺮَﺍﺭ ﻭﻗُﻞْ ﻫُﻮَ ﺍﻟﻠﻪ ُﺍﺣَﺪٌ ﺛُﻢَّ ﻗُﻞْ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻥ ﻓَﻀْﻠَﻪُ ِﻷَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻤَﻘَﺎﺑِﺮِ .
Artinya “Al-Imam Ibnu Qudamah berkata: Tidak mengapa membaca (ayat-ayat Al-Qur’an atau kalimah tayyibah) di samping kubur, hal ini telah diriwayatkan dari Imam Ahmad ibn Hambal bahwasanya beliau berkata: Jika hendak masuk kuburan atau makam, bacalah Ayat Kursi dan Qul Huwa Allahu Akhad sebanyak tiga kali kemudian iringilah dengan do’a: Ya Allah keutamaan bacaan tadi aku peruntukkan bagi penghuni kubur.
Referensi: Al-Mughni: II/566.
Dalam al-Adzkar dijelaskan lebih spesifik lagi seperti di bawah ini:
ﻭﺫﻫَﺐَ ﺍﺣْﻤَﺪُ ْﺑﻦُ ﺣَﻨْﺒَﻞٍ ﻭﺟَﻤَﺎﻋَﺔٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀ ﻭﺟَﻤَﺎﻋَﺔٌ ﻣِﻦْ ﺍﺻْﺤَﺎﺏ ﺍﻟﺸَّﺎِﻓـِﻌﻰ ﺍﻟﻰَ ﺍﻧـَّﻪُ ﻳَـﺼِﻞُ . ﻓَﺎْﻻِ ﺧْﺘِـﻴَﺎﺭ ﺍﻥ ﻳَـﻘُﻮْﻝ ﺍﻟْﻘَﺎﺭﺉ ﺑَﻌْﺪَ ﻓِﺮَﺍﻏِﻪِ: ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻭﺻِﻞْ ﺛَـﻮَﺍﺏ ﻣَﺎ ﻗَـﺮﺃ ﺗـُﻪُ ﺍﻟَﻰ ﻓُﻼَﻥ . ﻭﺍﻟﻠﻪ ُﺍﻋْﻠَﻢُ
Artinya: Imam Ahmad bin Hambal dan golongan ulama’ dan sebagian dari sahabat Syafi’i menyatakan bahwa pahala do’a adalah sampai kepada mayit. Dan menurut pendapat yang terpilih: “Hendaknya orang yang membaca Al-Qur’an setelah selesai untuk mengiringi bacaannya dengan do’a:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻭﺻِﻞْ ﺛَـﻮَﺍﺏ ﻣَﺎ ﻗَـﺮﺃ ﺗـُﻪُ ﺍﻟَﻰ ﻓُﻼَﻥ
Ya Allah, sampaikanlah pahala bacaan Al-Qur’an yang telah aku baca kepada si fulan (mayit)”.
Referensi: Al-Adzkar al-Nawawi: hal 150).
Jawaban Ustadz
Masa Allah, tabarakallahu wa taala. Tampaknya sudah cukup gamblang berbagai argumentasi yang dijadikan hujah sampainya pahala bacaan al-Qur’an, puasa, atau haji, sebagaimana yang dipaparkan dalam hadits-hadits shahih. Namun atsar yang menunjukkan pelaksanaannya pada hari-hari tertentu perlu masih ditinjau kembali.
Itulah sebabnya tidak etis jika kita menyalahkan orang lain. Demikianlah pola dakwah yang sejati, yang sekian lama kita mencoba manawarkan kepada rekan-rekan mubaligh. Bahkan menurut al-Qur’an, boleh jadi orang yang diolok-olok itu lebih baik dari yang mengolok-olok.
Indahnya jika peper ini disandingkan dengan berbagai argumentasi yang kontra dengannya sehingga semua pembaca dapat menimbang-nimbang mana yang lebih akurat.
Sering kita hanya puas dengan pandangan kita sendiri, sementara lainnya juga puas dengan pandangan mereka sendiri. Jika argumentasi lawan didudukkan sedemikian rupa sehingga lawan diajak diskusi memahami kekeliruan ber-hujjah-nya tentu lebih elegan.
Insya Allah, tanpa dibarengi penyakit fanatisme terhadap madzhabnya dan apriori terhadap lawan diskusinya, Allah akan membentangkan dada kita untuk menerima yang terbaik.
Nasihat Allah, merekalah yang mau mendengar berbagai pendapat, kemudian mau mengikuti yang terbaik. Tentunya seperti ini karakter setiap Muslim. Bukankah kita sudah sepakat untuk amar makruf dengan cara yang bijak. Mohon untuk tidak muncul istilah Wahabi dan sebagainya.
Sama halnya kita tidak mau dideskriditkan oleh pihak lain, maka jika pun jangan mendeskreditkan orang lain. Jika mampu balaslah makian teman dengan senyuman. Itu nilainya sedekah. Jika mereka keliru harus diluruskan dengan cara yang bijak pula.
Dengan demikian akan terjalin ukhuwah, yang dengannya akan mendapatkan ridha Allah SWT. Amin. Jika atsar itu benar, maka lakukan sesuai tanggal-tanggal itu. Harus juga dipahami ada teman yang berprinsip berdalil itu hanya dengan al-Qur’an dan hadits shahih, tidak mau berpegang pada atsar. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni