Menerima Warisan sebagai Anak Perempuan Tunggal, Janda Ini Sudah Pikun; Tanya Jawab Hukum Waris Islam oleh Dr Dian Berkah SHI MHI; Wakil Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim, dosen FAI Universitas Muhammadiyah Surabaya, dan founder Waris Center.
Tarjihjatim.pwmu.co – Saya ingin bertanya, ustadz. Ibu saya (sebut saja A), sekarang berusia 80 tahun, sudah mulai pikun jadi informasinya kurang valid.
A anak perempuan tunggal dari ayah B dan ibu C. A janda sejak anak masih balita. B meninggalkan waris rumah Bubutan. Dari hasil sewanya bisa membeli di Peneleh. Hasil sewa dua rumah waris ini yang dipakai untuk biaya hidup.
B dan C juga meninggalkan perhiasan. Info dari A, saat B dan C meninggal, saudara-saudara kandung B dan C sudah mengikhlaskan harta waris yang ditinggalkan. Baik dua rumah dan perhiasan ini sekarang masih utuh. Apakah ini sudah benar menjadi hak waris yang nanti akan diwariskan ke anaknya?
Jawaban:
Alhamdulillah sudah berkenan berkonsultasi untuk solusi waris. Semoga setiap langkah ini menjadi kebaikan, berkah, dan ilmu yang bermanfaat untuk kita.
Berbicara waris, tidaklah sebatas bicara distribusi harta. Berbicara waris adalah melaksanakan wasiat dari Allah tentang distribusi harta yang ditinggalkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Wasit ini berdasarkan ketentuan Allah dalam surat an-Nisa ayat 11.
Sejatinya, wasiat ini, Allah berikan kepada para orang tua secara langsung. Hanya saja, sebagian besar orang tua tidak memerhatikan ketentuan tersebut. Mereka lebih banyak bekerja, bekerja, dan bekerja. Mereka luput untuk mempelajari dan mengajarkan perihal waris Islam kepada anak-anaknya.
Memang, ini berpotensi menciptakan konflik kewarisan di antara ahli waris. Bahkah, Allah sendiri sudah menjelaskan potensi tersebut dalam surat an-Nisa ayat 9, “Sekiranya takutlah jika di belakangnya nanti, dia meninggalkan keturunan yang lemah.”
Dalam kamus berbahasa Inggris, kata dhiafa‘ (lemah) itu bermakna inequal (tidak adil). Dengan kata lain, jika waris itu tidak diperhatikan dan tidak dipersiapkan. Maka potensi ahli waris tidak berlaku adil dalam distribusi harta waris, pasti akan terjadi.
Karena itu, siapa pun sebagai anak harus menyadari kekurangan orang tua. Mereka sudah sepantasnya melengkapi kekurangan orang dalam mempersiapkan warisnya. Para ahli waris tidak sekadar mendistribusikan harta warisnya. Mereka harus melengkapi dan memahami serta memperhatikan wasiat Allah terkait hukum kewarisan Islam.
Pembuka surat an-Nisa ayat 11 berbunyi, “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”
Penggalan ayat surat an-Nisa sebagai ketentuan yang menjadi dasar utama, mengapa setiap ahli waris harus menerapkan waris Islam untuk membantu orang tuanya.
Begitu juga, para ahli waris tidak sebatas membagi (distribusi) harta waris. Melainkan mengelola harta warisnya agar menjadi produktif dan tetap produktif. Inilah yang disebut dengan sustainable Islamic family finance (keuangan keluarga yang berkelanjutan) yang dikembangkan, seperti saya tulis dalam Hukum Kewarisan Islam: Teori dan Praktik Mengelola Harta Waris Produktif (Waris Aset Manajemen).
Dalam kewarisan Islam, seseorang bisa melepas harta waris yang menjadi bagiannya. Harta waris tersebut diberikan kepada ahli waris yang lain. Tentu ada syarat yang harus diperhatikan. Dia harus sudah mengetahui hak, sebelum melepas haknya kepada ahli waris yang lainnya. Langkah tersebut berdasarkan kaidah “tanazul an al haq“, yang artinya melepas sesuatu yang menjadi haknya.
Baca sambungan di halaman 2: Bedah Kasusnya