Kasus yang Ditanyankan
Mengingat dalam kasus waris ini, si mayit masih memiliki pakde dari ibu, tetapi memang kedudukan pakde si mayit tidak menjadi ahli waris dari si mayit. Jika memang tidak ada ahli warisnya secara langsung, baik karena hubungan darah, maupun karena perkawinan, sosok pakde bisa terlibat untuk mendistribusikan dan mengelola harta waris si mayit agar sustainable (berkelanjutan).
Dalam hal ini bisa dikelola secara sosial dengan model Insiyab Al Mirast bi al Waqf. Model ini menunjukkan harta waris dapat dikelola dengan model wakaf, bisa dikelola oleh orang di dekat si mayit bersama nazhir yang terpercaya, sehingga harta waris ini terus bermanfaat. Bermanfaat untuk si mayit berupa amal saaleh dan bermanfaat untuk masyarakat berupa service (fasilitas) dan maal (harta).
Harta waris si mayit bisa dikelola sebagai harta waris yang bersifat produktif. Harta waris tetap menjadi milik si mayit karena sudah tidak ada ahli waris. Ketika dikelola sebagai usaha yang produktif dengan model Insiyab Al Mirast bi Mudharabah, tentu usaha yang tidak rugi.
Maka keuntungan dari usaha, dapat diberikan kepada pengelola (pakde atau orang lain). Keuntungan lainnya juga diberikan bagi si mayit dengan dua pola distribusi. Pertama, distribusi keuntungan untuk pengembangan usaha. Kedua, distribusi keuntungan untuk amal saleh si mayit berupa social fund (dana sosial) seperti zakat, infak, sedekah, dan wakaf.
Sebagai catatan, Jika memang si mayit yang meninggalkan harta waris, sedangkan si mayit sudah tidak ada saudaranya baik dekat maupun jauh, maka harta waris si mayit diserahkan kepada baitulmal yang dikelola oleh negara berdasarkan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam.
Memang contoh seperti ini belum pernah ada, akan tetapi bukan berarti tidak ada di masyarakat. Semoga dalam hal waris, kita tidak terlena dengan melupakan ketentuan yang ada, baik hukum waris Islam, maupun peraturan lain sebagai pelengkap, seperti Undang-Undang Perkawinan dan Komipalasi Hukum Islam. Tentu hasil ijtihad jamai berupa fatwa dari berbagai organisasi Islam, seperti Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dan Fatwa Batsu al Masa’il Nahdhatul Ulama, dan lembaga fatwa lainnya.
Model harta waris produktif lainnya bisa ditemukan dalam tulisan saya tentang Hukum Kewarisan Islam: Teori dan Praktik Mengelola Harta Waris Produktif. Di buku itu saya menjelaskan harta waris dikelola menjadi sarana untuk menciptakan sustainability (keberlanjutan) keuangan keluarga (sustainable Islamic family finance).
Pertama, keberlanjutan tradisi berbagi yang telah dilakukan oleh si mayit semasa hidupnya. Kedua, keberlanjutan tradisi berbisnis (berusaha), yang telah dikelola ahli waris sebelum meninggal. Ketiga, keberlanjutan pengalaman (ilmu berbinis) si mayit dalam mengelola usaha semasa hidupnya.
Demikian penjelasan sebagai jawaban dari pertanyaan waris di atas. Semoga segala usaha yang sudah dilakukan menjadi bagian dari ilmu bermanfaat dan amal saleh bagi si mayit, Ahli waris dan kita semuanya. Amin. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni