Instrumen Wakaf dan Wasiat
Wakaf juga menjadi salah satu instrumen distribusi harta yang bersifat sunah. Wakaf sudah menjadi potensi besar dalam pengembangan dana sosial bagi masyarakat, umat, dan bangsa.
Mengapa demikian? Karena dana atau aset wakaf harus tetap ada, sementara nilai tambah dan nilai manfaatnya dapat digunakan untuk masyarakat. Potensi wakaf terus dikembangkan sampai saat ini.
Pertama, objek wakaf. Objek wakaf tidak hanya berupa aset atau benda tidak bergerak seperti tanah, tanah dan gedung, lahan pertanian, dan lahan perkebunan. Benda bergerak seperti kendaraan dan sejenisnya juga objek wakaf. Juga bisa berupa barang berharga seperti saham, sukuk, uang tunai yang dikenal dengan istilah wakaf tunai.
Kedua, pengelolaan objek wakaf. Objek (benda) wakaf tidak hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan ibadah. Benda wakaf dapat kelola secara produktif yang dapat meningkatkan nilai manfaat berupa profit (keuntungan). Misalnya hotel, rumah sakit, pasar, dan aktivitas ekonomi lainnya.
Sebagai catatan, siapa pun yang ingin berwakaf, besaran maksimal dari nilai harta yang didistribusikan sama seperti wasiat dan hibah, yaitu 1/3 dari harta yang dimiliki. Sebaiknya, mereka yang ingin berwakaf menyerahkan dana wakafnya kepada pengelola dana wakaf (nadhir) yang resmi dan terbukti profesional dalam tugasnya. Di antara nadhir wakaf yang ada seperti Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama serta ormas keagamaan lain yang telah mendapatkan izin sebagai nadhir (lembaga penerima dan pengelola dana atau aset wakaf).
Ketika seseorang masih hidup dan berkeinginan membagi hartanya untuk orang lain, dia dapat menggunakan instrumen distribusi seperti wasiat. Dalam berwasiat, seseorang wajib melibatkan dua orang saksi. Wasiat ini diperuntukkan untuk selain ahli waris. Besaran nilai maksimal yang dapat didistribusikan adalah 1/3 dari harta yang dimilikinya berdasarkan hadits. Wasiat hukumnya wajib dilaksanakan sebelum adanya distribusi harta waris.
Sebagai catatan, instrumen wasiat sangatlah penting dan bermanfaat bagi setiap individu sebagai calon pewaris. Terutama bagi mereka yang menjadi tulang punggung (tumpuan ekonomi) bagi saudaranya dan orang lain. Sedangkan mereka yang tidak memiliki hubungan darah seperti orang tua, saudara kandung, dan anak, serta tidak ada hubungan perkawinan seperti suami atau istri bisa dibuatkan wasiat untuk mereka agar tetap mendapatkan bagian harta yang ditinggalkan.
Mengingat jika tidak ada wasiat, mereka tidak akan mendapatkan bagian harta waris, dikarenakan mereka tidak termasuk ahli waris dari si mayit. Tentu, tidak sedikit persoalan waris muncul karena adanya wasiat yang tidak sesuai ketentuan tersebut.
Ketika seseorang telah meninggal dunia, sedangkan si mayit memiliki harta. Harta yang ditinggalkan berubah status menjadi harta waris. Harta waris adalah harta milik si mayit. Karena itu, ketika si mayit dalam keadaan menikah, maka tidak boleh harta yang ditinggalkannya menjadi harta waris.
Tentu, di dalam harta mereka (suami-istri) ada harta bersama atau harta gono-gini (bertambahnya nilai harta setelah adanya perkawinan, dan berakhir adanya perceraian, baik hidup atau mati). Karena itu, harta waris dari suami atau istri yang meninggal dunia adalah separuh harta bersama milik si mayit dan ditambah dengan harta bawaan yang menjadi milik si mayit.
Dalam hal ini, verifikasi harta waris yang bersumber dari harta peninggalan milik si mayit menjadi sangatlah penting. Termasuk di dalamnya, perhatikan juga keberadaan utang dan wasiat si mayit. Jika keduanya ada,maka utang dan wasiat si mayit wajib untuk dibayar dan direalisasikan.
Jika keduanya tidak ada, maka harta waris si mayit wajib didistribuskan kepada mereka yang berhak menerimanya yaitu ahli waris. Lalu, apakah instrumen distribusi harta yang digunakan? Instrumen kewarisan jawabannya. Tentu instrumen waris yang dimaksud adalah waris Islam (ilmu faraidh). Berbeda tentunya, jika si mayit beragama selain Islam. Maka berlaku ketentuan distribusi yang berlaku seperti hukum perdata.
Karena itu, berdasarkan pertanyaan yang disampaikan. Seseorang yang memiliki harta, kemudian sudah meninggal, maka harta milik si mayit tidak boleh didistribusikan secara langsung dengan instrumen wakaf. Jika berkeinginan menyisihkan harta peninggalan si mayit untuk wakaf, terutama sebagai amal jariah bagi si mayit, maka pendistribusian wakaf ini harus mendapat persetujuan dari ahli waris.
Hal ini dilakukan atas dasar mengurangi bagian (hak waris) yang akan diterima ahli waris. Ahli waris bisa melepas haknya untuk diberikan kepada orang lain (tanazul ‘an al haq). Dalam hal ini, orang lain yang dimaksud seperti ahli waris yang membutuhkan. Atau juga bisa orang lain seperti saudara si mayit (karib-kerabat), anak yatim, dan orang miskin (an-Nisa 8).
Terbaik tentunya, jika ada ahli waris menerima harta waris bagiannya kemudian mereka memberikan kembali bagian harta waris si mayit untuk kepentingan pewaris (si mayit). Misalnya, harta waris menjadi harta wakaf atas nama si mayit sebagai pemberi wakaf (wakif).
Tentu, pengelolanya bisa dari ahli waris atau keluarga si mayit (wakaf ahli). Atau dikelola sepenuhnya oleh masyarakat sebagai nazhir wakaf (wakaf khairi). Atau bisa juga dikelola secara bersama antara keluarga si mayit dan masyarakat sebagai nadhir wakaf (wakaf ahli dan khairi).
Baca sambungan di halaman 3: Kasus yang Ditanyankan