Ihsan dan Pendekatan Irfani dalam Perspektif Tarjih Muhammadiyah; Oleh M. Rifqi Rosyidi, Anggota Lajnah Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim
Tarjihjatimpwmu.co – Ihsân, bentuk mashdar ahsana, merupakan pengembangan dari kata dasar hasuna; yang secara linguistik memberikan pengertian semua keindahan dan kebaikan yang disenangi, baik menurut nalar, naluri maupun inderawi (Ibrahim Musthafa, al-Mu`jam al-washîth). Dan setelah berubah bentuk menjadi ahsana–Ihsân, mempunyai makna semua perbuatan baik yang membawa pengaruh positif bagi pelakunya dan lingkungannya (manusia, tumbuhan, binatang).
Dari pengertian ini, maka ihsan mempunyai dua bentuk, pertama, perbuatan baik yang sesuai dengan norma-norma sosial kemasyarakatn dan nilai-nilai keagamaan.
Kedua, memberikan kebaikan (kenyamanan, ketenangan, ketenteraman, kebahagiaan) kepada lingkungan sekitarnya. Dan ini merupakan implementasi dari bentuk yang pertama. (Ar-Raghib al-Ashfahani, Mufradât Alfâdh al-Qur`ân). Perhatikan beberapa ayat dan hadits berikut:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا . وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا [الإسراء : 23]
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : ثِنْتَانِ حَفِظْتُهُمَا مِنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ [متفق عليه]
Dari Syaddad bin Aus radliyallahu anhu berkata: Dua hal yang saya dapatkan keduanya dari rasulullah saw (beliau) bersabda: “Sesungguhnya Allah `Azza wa Jalla mewajibkan (kepadamu) untuk berbuat baik (ihsan) kepada segala sesuatu; Maka apabila kamu membunuh, berlakulah yang baik (ihsan) dalam membunuh, dan (juga) apabila kamu menyembelih, berlakulah yang baik (ihsan) dalam penyembelihan; maka tajamkanlah (mata) pisaunya, dan berilah ketenangan kepada sembelihannya”.
Setelah mengurai beberapa makna tentang ihsan, Al-Ashfahani menyimpulkan bahwa berbuat Ihsanlebih tinggi derajatnya dari berbuat adil, karena ketika seseorang berbuat adil, yang dilakukan hanya memberi dan melakukan apa yang sudah menjadi kewajibannya, sedangkan berbuat Ihsan, seseorang akan memberi dan melakukan lebih dari sekedar memenuhi kewajiban saja. (lihat al-Baqarah 187, an-Nisa 125).
Ihsan dalam Perspektif Hadits Jibril
Ketika rasulullah saw ditanya oleh malaikat Jibril tentang hakekat Ihsan, maka beliau menjawab:
. . . الإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . . .
. . . . . Ihsan adalah; berusahalah ketika kemu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, kalau tidak mampu (mencapai derajat tersebut) yakinlah bahwa Allah melihatmu . . .
Ungkapan Rasulullah tentang ihsan tersebut merupakan salah satu jawaban dari empat pertanyaan yang disampaikan malaikat Jibril, yang semuanya dinyatakan rasulullah saw sebagai din yang diajarkan Jibril kepada ummatnya; yaitu Islam, Iman, Ihsan, Hari Kiamat dan tanda-tandanya.
Didin Hafiduddin, mengurai definisi Ihsan tersebut menjadi dua bagian: Pertama, dalam bekerja dan khususnya beribadah kita harus melakukan yang terbaik dan semaksimal mungkin (Ali Imran 102). Kedua, kita dituntut untuk selalu melakukan evaluasi dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas pekerjaan dan ibadah kita untuk bisa meraih yang lebih baik dari sebelumnya. (al-Hasyr 18).
Pemahaman yang mendalam terhadap konsep prophetik tentang ihsan tersebut akan melahirkan pribadi berkarakter dengan etos kerja (ibadah) yang berkualitas sebagaimana tuntunan al-Quran dan al-Hadits; totalitas/mujahadah (al-Anfal60, al-Hajj 78, Ali Imran 102), dinamis (al-Insyirah 7), ikhlas (al-Zumar 2, al-Bayyinah 5), konsisten (Hud 112, Fushilat 6), dan bertanggung jawab (al-An`am 70, al-Anbiya 23, al-Mudatsir 38).
Model dan Pendekatan Ijtihad Muhammadiyah
Di dalam beristidlal sebagai upaya menghasilkan sebuah produk hukum, Muhammadiyah mengenal tiga model ijtihad; ijtihâd bayâniy, ijtihâd qiyâsiy dan ijtihâd isthishlâhiy.
ijtihâd bayâniy,yaitu: ijtihad terhadap nash yang mujmal, baik karena belum jelas makna lafaz yang dimaksud, maupun karena lafaz itu mengandung makna ganda, mengandung arti musytarak, ataupun karena pengertian lafaz dalam ungkapan yang konteks mempunyai arti yang jumbuh (mutasyabih), ataupun adanya beberapa dalil yang bertentangan (ta’aarudh).
ijtihâd qiyâsiy atau ta`lîliy, yaitu menyeberangkan hukum yang telah ada nashnya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash, karena ada kesamaan illat.
ijtihâd isthishlâhiy, yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak ditunjuki nash sama sekali secara khusus, maupun tidak ada nash mengenai masalah yang ada kesamaannya. Dalam masalah yang demikian, penetapan hukum dilakukan berdasarkan illah untuk kemaslahatan.
Selain ketiga model ijtihad yang sudah digunakan oleh Muhammadiyah selama ini dalam berbagai kegiatan ketarjihannya, Putusan Tarjih Jakarta 2000, Bab II ayat (2) menegaskan; bahwa pemahaman terhadap kedua sumber tersebut (al-Quran dan al-hadits) dilakukan secara komprehensif-integralistik melalui pendekatan bayâniy, burhâniy dan `Irfâniy dalam suatu hubungan yang bersifat spiral.
Secara epistemologis ijtihad Bayani adalah suatu cara memperoleh pengetahuan dengan berpijak pada nash baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung artinya menggunakan nash atau teks suci sebagai sumber pengetahuan yang jadi. Dengan demikian informasi hukum yang dimunculkan nash diambil secara apa adanya. Sedangkan secara tidak langsung maksudnya melakukan penyimpulan hukum dengan berpijak pada nash tersebut.
Dalam ungkapan lain porsi nash dalam ijtihad bayani sangat dominan daripada porsi penalaran akal. Oleh karenanya kekuatan pendekatan ini terletak pada bahasa, baik nahwu, sharaf maupun balaghah. Sebagai implikasinya lafaz-makna mendapatkan posisi yang cukup terhormat, terutama dalam diskursus ushul fiqhi.
Bagi Muhammadiyah pendekatan bayani ini sangat diperlukan dalam rangka komitmenya terhadap teks agama, yakni al-Qur’an dan al-sunnah al-maqbulah.
Adapun burhani adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio yang dilakukan melalui dalil-dalil logika. Pendekatan ini menjadikan realitas teks maupun konteks sebagai sumber kajian. Dalam pendekatan burhani tercakup metode ta’lili yang berupa memehami realitas teks berdasarkan rasionalitas dan metode istishlahi yang berusaha mendekati dan memahami realitas objektif atau konteks berdasarkan filosofi. Dalam pendekatan ini teks dan konteks berada dalam satu wilayah yang saling memengaruhi.
Sedangkan pendekatan irfani adalah suatu pendekatan yang dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutasawwifun dan arifun untuk mengeluarkan makna batin dari lafz dan ‘ibarah; ia juga merupakan istinbat al-ma’arif al-qalbiyah dari al-Qur’an.
Irfani berasal dari kata arafa irfanan yang secara tradisional dimaknai sebagai ma’rifah atau pengetahuan, juga dimaknai sebagai kasyf atau pengetahuan yang diraih melalui latihan batin (riyâdlah rûhiyyah). Pendekatan irfani secara metodologis dipraktikkan dengan lebih bertumpu pada instrumen pengalaman batin, dzauq, qalb, wijdan, bashirah atau intuisi. (Hasan al-Mahmud, al-Sulûk min mandzûr `irfâniy)
Contoh konkret yang (mungkin) bisa dimasukkan dalam kategori pemahaman dengan pendekatan irfani adalah penafsiran sebagian sahabat tentang wafatnya Rasulullah saw yang semakin dekat setelah turun al-Maidah 3:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu”.
Ihsan dalam Berijtihad
Islam, iman, dan ihsan sebagaimana yang termaktub di dalam hadits di atas, ketiganya mempunyai hubungan yang sangat erat. Karena pada tataran tertentu pengertian Islam juga mencakup iman dan Ihsan, begitu pula sebaliknya, iman dan ihsan pada tatarannya juga mengandung ketiga terminologi tersebut; idzâ ijtama`at iftaraqat, wa idzâ iftaraqat ijtama`at; Ada semacam keterkaitan dalam keumuman dan kekhusunan makna.
Ketika ketiga lafadz tersebut disebutkan bersama dalam sebuah nash al-Qur`an dan al-Hadits, maka masing-masing mempunyai pengertian yang menjadi ciri khasnya, tetapi ketika disebutkan secara terpisah dan berdiri sendiri, maka lafadz tersebut telah mengandung semua pengertian yang lainnya. Perhatikan ayat di bawah ini yang menyebutkan ihsan, iman, takwa, dan amal sholeh dalam satu rangkaian ayat:
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا وَأَحْسَنُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang shaleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang shaleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (al-Maidah: 93).
Dengan demikian, terminologi Ihsan dengan menggunakan paradigma hadits nabawi di atas harusnya mencakup nilai-nilai keimanan dan keislaman. Artinya, bahwa seseorang dikatakan telah berbuat ihsan, kalau perbuatannya dinilai sesuai dengan semangat tauhid, nilai-nilai keagamaan dan standar kebenaran universal.
Berkaitan dengan ihsan dalam ijtihad, seorang mujtahid dikatakan telah berbuat ihsan, kalau produk hukum yang dihasilkan dari ijtihadnya –apapun model dan pendekatan yang digunakan- tidak bertentangan dengan ajaran nabi tentang tauhid, memperhatikan nilai-nilai keagamaan dan maqâshid al-syarî`ah, serta memenuhi standar kebenaran universal dan tidak bersifat subjektif. Di samping kajian yang dilakukan harus bersifat holistik-komprehensif dan tidak parsial.
إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا . أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasu-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan” (an-Nisa: 150-151)
Sekilas tentang Irfani
Secara historis, pendekatan irfani yang dikembangkan oleh Shihabuddin Umar al-Sahrawardi (632 H) sangat dipengaruhi oleh filsafat isyrâqiyyahnya Shihabuddin Yahya bin Habsy al-Sahrawardi (586H), yang muaranya kembali kepada gagasan Plato tentang teori emanasi (faydl al-`âlam `an `aql al-awwal).
Terminologi irfani sangat familier di dunia tashawwuf (mutashowwif), karena metode irfani merupakan salah satu cara memperoleh pengetahuan dan pemahaman bagi orang-orang pilihan tertentu (khawâsh) yang sudah mencapai tingkatan ma`rifat.
Ada beberapa istilah yang lazim digunakan di dalam dunia tashawwuf, dalam rangka mengklasifikasi tingkatan penganutnya (sâlikîn), bahkan tidak jarang dijadikan ukuran keshalehan dalam keberagamaan seseorang; syarengat (syariat), thariqat, haqiqat, ma`rifat, mukâsyafat, hulûl dan fanâ`. Dan maqam ma`rifat merupakan tingkatan yang pada tataran teori seseorang sudah dianggap mumpuni mendapat pengetahuan dan pemahaman secara irfani (semacam wahyu, ilham, wangsit dsb.) dengan mempertajam dzauq, bashîrah, wijdân dsb. melalui riyâdhah rûhiyyah yang ajeg dan konsisten.
Ketika syarat tersebut terpenuhi, pada saatnya nanti pelaku suluk tersebut akan menduduki maqam yang lebih tinggi karena sudah memiliki kompetensi mendapatkan pemahaman dan pengetahuan secara mukasyafah; artinya bahwa tabir ilahiyyah akan terbuka dan ilmu-ilmu Tuhan (bahkan sifat-sifatNya) akan mengalir ke dalam dirinya. Dalam disiplin ilmu filsafat ini yang disebut dengan teori emanasi. Sehingga al-Syahrawardi mengatakan: “bahwa Allah adalah sumber cahaya-cahaya (nûr al-anwâr), dan dari cahayaNya “mengalir” cahaya-cahaya yang banyak yang menjadi soko guru bagi alam jasad dan alam ruh”.
Dengan riyâdhah ruhiyyah tingkat lanjut sesuai dengan ketentuan yang berlaku di kalangan shufi, seseorang akan mendapatkan kehormatan untuk mencapai maqam hulûl atau yang biasa disebut dengan wihdatul wujud (manunggaling kawula gusti), dan kemudian menjadi fanâ`; artinya sudah tidak bisa dibedakan lagi mana tuhan mana makhluq menurut keyakinan mereka, sebagaimana yang sering kita dengar tentang kemanunggalingkawulagustiannya Syekh Siti Jenar dengan jargon terkenalnya; anâ al-Haqq.
Begitu pula dengan beberapa luapan emosi spiritual Al-Hallaj dalam kumpulan syair-syairnya yang menunjukan kebersatuan dzat Tuhan dalam dirinya, antara lain:
رُوْحِي رُوْحُهُ وَ رُوْحُهُ رُوْحِي – إِنْ يَشَا شِئْتُ إِنْ شِئْتُ يَشَا
أَنَا مَنْ أَهْوَي وَ مَنْ أَهْوَي أَنَا – نَحْنُ رُوْحَانِ حَلَلْنَا بَدَنًا – فَإِذَا أَبْصَرْتَنِي أَبْصَرْتَهُ فَإِذَا أَبْصَرْتَهُ أَبْصَرْتَنَا
لَسْتُ بِالتَّوْحِيْد أَلْهُو غَيْرَ أَنِّي عَنْهُ أَسْهُو كَيْفَ أَسْهُو كَيْفَ أَلْهُو وَصَحِيْحٌ أَنَّنِي هُوَ
Dengan demikian, pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh melalui pendekatan irfani sangat subjektif dan irrasional karena berpedoman kepada pengalaman spiritual (batin) seseorang; Mirza Ghulam Ahmad (Ahmadiyah), Lia Eden (ya Salam), serta aliran-aliran lain yang sudah divonis sesat oleh MUI, merupakan produk dari pengembaraan spiritual dan pengalaman batin seseorang dengan menggunakan pendekatan irfani.
Penutup
Sekedar menggarisbawahi hubungan antara Ihsan dan Proses ijtihad dalam perspektif manhaj Tarjih, bahwa Ihsan dalam pengertian khusus maupun yang luas, sangat dibutuhkan oleh seorang mujtahid dalam proses ijtihad untuk menghasilkan sebuah produk hukum, apapun pendekatan dan metode yang digunakan dalam rangka memahami realitas nash-nash agama yang menjadi pijakannya; termasuk di dalamnya ijtihad dengan menggunakan pendekatan irfani, sehingga produk yang diperoleh tetap sejalan dengan ajaran Tauhid yang benar, prinsip dasar nilai-nilai keislaman dan memenuhi kriteria kebenaran universal.
Salah satu implementasi dari semangat Ihsan dalam manhaj Tarjih Muhammadiyah (menurut hemat penulis), adalah bahwa Muhammadiyah menentukan syarat dan kriteria (baik yang berkaitan dengan keilmuan maupun kepribadian) yang harus dipenuhi oleh ulama Tarjih Muhammadiyah; Memahami al-Qur’an dan sunnah Rasul, menguasai bahasa Arab, Mengetahui masalah-masalah yang telah memperoleh konsensus (Ijma’), menguasai ilmu ushul fiqih, memahami maqashid al-Syariah, mengenal manusia dan kehidupan sekitarnya, memiliki sikap adil dan takwa, menguasai ilmu ushuluddin, cabang-cabang ilmu fikih dan ilmu Mantiq.
Di samping itu, dalam ijtihadnya Muhammadiyah menggunakan model Ijtihad Jama`iy, supaya produk hukum yang diputuskan lebih komprehensif. Wallahu a`lam.
Daftar Penggunaan Pecahan Kalimat dari Kata Dasar Ha, Sin, Nun ( ح – س – ن)
Bentuk Kalimat | Surat Ayat |
محسِن – محسنينمحسنات | 2:58, 112, 236, 3:134, 4125, 5:13, 85, 95, 6:84, 7:56, 95, 131, 161,9:91, 120, 11:115, 12:22, 36, 56, 78, 90, 16:128, 22:37, 28:14, 29:69, 31:3, 22, 37:80, 105, 110, 113, 121, 131, 39:34, 58, 46:12,51:16, 77:44, 33:29 |
حُسْن | 2:83, 3:14, 148, 195, 13:29, 18:86, 27:11, 29:8, 33:52, 38:25,40, 49,42: 23 |
إِحْسَانًا | 2:83, 178, 4:36, 62, 6:151, 9:100, 16:90, 17:23, 46:15, 55:60 |
حَسَنٌ – حَسَنًا | 2:245, 3:37, 5:12, 8:17, 11:3, 88, 16:67, 75, 18:2, 20:86, 22:58, 28:61, 35:8, 48:16, 57:11, 18, 64:17, 73:20 |
أَحْسَن | 2:138, 4:59, 86, 5:50, 6:152, 7:145, 9:121, 11:7, 12:3, 12:23, 16:96, 97, 125, 17:34, 35, 53, 18:7, 19:73, 74, 23:14, 96, 24:38,25:24, 33, 29:7, 46, 37:125, 39:18, 23, 35, 55, 41:33, 34, 46:1667:2, 95:4 |
حَسُنَ -حَسُنَتْ | 4:69, 18:31, 25:76 |
أَحْسَنَأَحْسَنْتُمْأَحْسَنُوْاتُحْسِنُوْايُحْسِنُونَأَحْسِنْ | 6:154, 12:100, 18:30, 28:77, 32:7, 40:64, 64:3, 65:1117:72:195, 3:172, 5:95, 16:30, 53:314:12818:10428:77 |
حَسَنَة حَسَنَات | 2:201, 3:120, 4:40, 78, 79, 85, 6:160, 7:156, 9:50, 13:6, 22, 16:30, 41, 122, 125, 27:46, 89, 28:54, 84, 33:21, 39:10, 41:34, 42:23, 60:4, 67:168, 11:114, 25:70 |
الحُسْنى الحًسْنًيًيْن | 4:95, 7:137, 7:180, 9:107, 10:26, 13:18, 16:62, 17:110, 18:88, 20:8,21:101, 41:50, 53:31, 57:10, 59:24, 92:6, 9, 9:52 |
حِسَان | 55:70, 75 |