Indonesia sebagai Darul Ahdi wa Syahadah, Produk Asli Muhammadiyah; Oleh M. Rifqi Rosyidi, Anggota Lajnah Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim
Tarjihjatim.pwmu.co – Darul Ahdi wa Syahadah (atau ditulis Dâr al-`Ahd wa al-Syahâdah) merupakan wilayah siyâsah syar`iyyah. Maka untuk memahami konsep Dâr al-`Ahd wa al-Syahâdah dengan benar, harus memiliki pengetahuan dasar tentang beberapa istilah yang biasa digunakan dalam kajian fikih. Meskipun tulisan ini lebih bersifat terminologis dan linguistis, tetapi berusaha memberi pijakan dasar munculnya istilah ini, dan dengan beberapa pemaknaan dapat dijadikan sebagai alat ukur kadar kebangsaan kita.
Dâr dalam Kajian Fikih Klasik
Di dalam kajian al-siyâsah al-syar`iyyah, disebutkan minimal ada tiga macam dâr (negara): Dâr al-Islâm, Dâr al-Kufr dan Dâr al-Ahd. Dâr al-Islam, menurut terminologi fikih klasik secara global dapat didefinisikan sebagai sebuah negara yang pimpinannya Muslim dan memberlakukan hukum Islam dalam mengelola pemerintahannya.
Tetapi diskusi dan pembahasan tentang terminologi negara Islam selalu berkembang dan batasannya semakin meluas sehingga sampai kepada sebuah diskursus bahwa negara Islam adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan dipimpin oleh kepala negara yang Muslim pula, meskipun dalam mengelola pemerintahannya tidak mengatasnamakan syariat Islam.
Dengan mengacu kepada kualifikasi kontemporer, maka negara-negara Indonesia, Malaysia, dan Brunai Darussalam sudah termasuk negara Islam. Maka penyebutan Dâr al-Islâm sudah tidak dilihat lagi dari penerapan syariat Islam dalam mengelola pemerintahannya, tetapi lebih banyak dilihat dari komposisi penduduk dan pemimpinnya.
Dâr al-Kufr, atau Dâr al-Harb adalah negara yang pengelolaan pemerintahannya tidak berdasarkan Islam, kepala negaranya tidak Muslim, dan begitu pula penduduknya yang semuanya atau mayoritasnya non muslim.
Menurut Abu Hanifah ada tiga kriteria yang menjadikan sebuah negara menjadi Dâr al-Kufr. Pertama, tidak ada satu rumah pun milik orang Islam di dalamnya. Kedua, pemerintahannya tidak berdasar syariat Islam. Ketiga, simbol-simbok kemusyrikan dan kekafiran ‘berkibar’ bebas.
Tetapi kriteria Abu Hanifah ini dibantah oleh Ibnu Qudamah dan Syafi`i, yang menegaskan bahwa negara itu dilihat dari hukum yang berlaku di negara itu. Sehingga negara yang memberlakukan hukum Islam sudah pasti disebut Dâr al-Islâm. Sebaliknya negara yang tidak memberlakukan hukum Islam disebut Dâr al-Kufr.
Kriteria, kualifikasi ,dan terminologi Dâr al-Kufr versi fikih klasik ini, memang mendapat perhatian dari para cendekia Muslim kontemporer untuk direkonstruksi ulang dengan bangunan teoritis yang komprehensif seiring dengan banyaknya komunitas Muslim yang menghuni negara-negara yang dalam pengertian fikih klasik termasuk Dâr al-Kufr.
Dâr al-`Ahd, secara isthilâhîy adalah sebuah negara yang penduduknya non-Muslim tetapi telah melakukan perjanjian perdamaian dengan Dâr al-Islâm untuk tidak diperangi dengan kewajiban membayar jizyah, karena secara substantif negara tersebut dikuasai oleh Dâr al-Islâm, baik melalui perang atau hanya dengan perjanjian. Jizah itu sendiri merupakan semacam pajak yang dibayarkan oleh Dâr al-Kufr kepada Dâr al-Islam atas jaminan keselamatan, kenyamanan dan tidak diperangi.
Perjanjian seperti ini di dalam kajian fikih biasa disebut dengan `adq al-amân, al-shulh, al-mu`âhadah. Sedangkan Dâr al-`Ahd juga mempunyai beberapa term seperti Dâr al-Muwâda`ah, Dâr al-Mu`âhadah, Dâr al-Shulh. Dan orang kafir yang mendapat jaminan keselamatan hidup melalui perjanjian semacam ini disebut dengan ahl al-dzimmah, dan juga disebut sebagai kâfir dzimmîy.
Dinamika hubungan antara Dâr al-Islâm dan Dâr al-Kufr, serta hubungan interaktif antara orang Muslim dan non-Muslim dapat dilihat dari gambaran beberapa ayat berikut.
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ (29)
Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan rasul-Nya, serta tidak beragama dengan agama yang benar, [mereka itu] dari golongan ahli kitab sehingga mereka membayar jizyah dengan patuh dan mereka dalam keadaan tunduk”(al-Taubah 29)
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ (6)
Artinya: “dan jika di antara orang musyrik ada yang meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah agar dia dapat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah dia ketempat yang aman baginya. [demikian] itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengetahui”. (at-Taubah 6).
Baca sambungan di halaman 2: Dâr dalam Kajian Fikih Kontemporer