Dzikir Jahar Sudah Ada di Zaman Nabi? Oleh Dr Dian Berkah SHI MHI; Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim, dosen FAI Universitas Muhammadiyah Surabaya, dan founder Waris Center.
Tarjihjatim.pwmu.co – Mohon ini tanya Ustadz. Suatu saat saya mengikuti kajian di sebuah masjid. Sang ustadz menyampaikan dzikir dengan suara keras (jahar) itu sesuatu yang sudah dilakukan pada zaman Nabi denganmengemukakan hadits dari Abdullah bin Umar yang inti dari hadits tersebut adalah dzikir dengan jahar itu mengikuti sunah. Sedangkan hadits yang melarang dzikir jahar saat Nabi berperang. Mohon penjelasannya syukur disertakan dalil-dalilnya, terima kasih.
Jawaban
Waalaikumsalam. Makna dzikir itu mengingat atau doa. Makna lainnya membaca al-Qur’an.
Berzikir tentu bagian dari ibadah. Dalam ibadah tidak terlepas dari niat, sebagaimana hadist Nabi SAW, Inna maal a’malu binniyat (sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung niatnya).
Memang ada petunjuk tentang dzikir itu dengan sir (pelan) dan jahar (keras). Tentu itu semuanya bisa dilakukan secara profesional dan proporsional.
Ketika berpikir dengan sir tentu tidak ada berhubungan dengan orang lain. Berbeda dengan berdzikir dengan jahar. Tentu sangat berhubungan dengan orang lain.
Karena itu, ketika kita berzikir dengan jahar, maka bisa dikembalikan kepada niat yang melakukannya. Apalagi berdzikir jahar tentu berhubungan dengan orang lain dan lingkungan. Jika diniatkan untuk siar atau dakwah, harus diperhatikan betul agar dakwah tersebut benar-benar penting untuk diperluas. Jika memang, itu hanya kebutuhan individu, sebaiknya dzikir itu dipelankan.
Sebaliknya, jika memang dzikir itu dalam rangka edukasi untuk kelompok tertentu, tentu tidak mengapa untuk dijaharkan. Misalnya, seorang guru mengajarkan dzikir kepada muridnya di sekolah.
Dzikir Jahar di Masjid
Bagaimana jika berdzikir di masjid dengan jahar? Jawabannya, dikembalikan kepada niat masing-masing. Sekiranya, berdzikir dengan tidak ada kebutuhan yang jelas, sebaiknya, dzikir itu dipelankan. Jika memang menggunakan speaker (pengeras), bisa menggunakan speaker dalam masjid saja.
Sebagai renungan bersama, dalam beribadah yang bernilai kebaikan dan manfaat. Tentu jangan sampai tidak bernilai tersebut.
Semoga sebagai hamba Allah, penting punya kesadaran akan adanya habluminallah (berhubungan dengan Allah). Sebagai seorang hamba, si fulan berinteraksi dengan Allah sebagai Sang Khaliq (Maha Pencipta). Begitu juga, seorang hamba berinteraksi kepada sesamanya, sebagai aktualisasi dari habluminannas (berhubungan dengan manusia).
Semoga kita semuanya selalu mendapat predikat terbaik dalam habluminallah dan dari habluminannas. Semoga dengan kebaikan ini akan mengantarkan kita menjadi penghuni Surga. Tempat kembali terbaik bagi insan bertakwa, beriman, dan beramal shaleh.
Demikian penjelasan dari pertanyaan yang disampaikan, semoga menjadi amal shaleh dan ilmu yang bermanfaat, amin. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni