Wanita Karier Jarang Ngumpul di Kampung Lalu Digunjing, Salahkah? Tanya jawab agama diasuh oleh Dr Zainuddin MZ Lc MA, Ketua Lajnah Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
Tarjihjatim.pwmu.co – Saya seorang wanita yang bekerja di kantor dan juga seorang ibu rumah tangga jika di rumah. Saya setiap hari pulang kerja sampai rumah sekitar pukul 18.00 atau 18.20. Dan di hari Sabtu masih kerja setengah hari sampai rumah pukul 14.00 atau 14.30 WIB. Yang saya tanyakan:
- Apakah saya salah jika saya jarang keluar rumah dan mengikuti segala kegiatan di dalam kampung. Tetapi untuk acara arisan kampung, malam tirakatan 17 Agustus, Isra Mikraj, halalbihalal, megengan, dan lain-lain selalu saya usahakan datang dan hadir. Di luar dari acara-acara tersebut saya jarang keluar rumah, baik untuk ngobrol-ngobrol lama dengan tetangga ataupun membuat kegiatan-kegiatan lainnya. Karena jarangnya saya keluar rumah, hampir satu kampung membicarakan saya.
- Sebagai wanita kerja dan ibu rumah tangga kepentingan manakah yang harus saya pilih dahulu: urusan kampung atau anak dan suami saya?
- Bagaimana menghadapi tetangga seperti itu yang selalu menggunjingkan saya sehingga saya terbawa perasaan?
- Bagaimana cara saya menempatkan dan mengondisikan kepada tetangga kampung agar mereka semua welcome kepada saya?
- Bagaimana menghadapi tetangga yang iri kepada saya dari awal saya pindah rumah yang saya tempati sekarang?
Mohon untuk dijelaskan Ustadz. Terima kasih.
Jawaban
Risiko wanita karier ya seperti itu. Untung ibu pulang kantor masih di sore hari, banyak yang pulangnya larut malam. Manusia itu akan menjadi musuh lantaran mereka tidak mengerti. Maka jika ada waktu bergumul dengan masyarakat, tidak ada salahnya ibu minta maaf dan menjelaskan kiprah ibu di rumah dan di kantor. Apalagi zaman segini, asal kerjaan itu masih dalam ranah halal, maka percayalah hanya orang-orang yang berhati sirik yang membicarakan cela ibu. Iri istilah ibu.
Semestinya masyarakat bangga memiliki warga seperti ibu, aset bagi mereka, toh juga masih menyempatkan diri untuk nimbrung dalam acara-acara kemasyarakatan seperti tirakatan 17 Agustus, Isra Mikraj, halalbihalal, megengan, dan lain-lain.
Memang perlu kedekatan kita dengan masyarakat, karena jika terjadi apa-apa pada diri ibu, bukan anak ibu yang dokter yang di Jerman misalnya yang ibu harapkan, namun kepedulian tetangga yang jadi idaman. Begitulah Islam mengajarkan, belum sempurna iman seseorang sehingga dia mencintai tetangganya sebagaimana cintanya pada diri sendiri. Maka kecintaan terhadap tetangga akan terwujud jika interaksi sosial tak terkendala. Harus ada peluang untuk sering bercengrama dengan mereka sehingga terwujud hubungan yang harmonis. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni