Perayaan Maulid Nabi dalam Perspektif Tarjih Muhammadiyah; Oleh Tajun Nasher Lc, Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Gresik.
Tarjihjatim.pwmu.co – Saat ini kita berada di tahun 1445 Hijriah. Jika dihitung mulai dari kelahiran Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam maka saat ini kita sudah berada 1498 tahun dari kelahiran Nabi. Menjelang 15 abad dari masa kelahiran beliau ini masih terjadi perdebatan mengenai masalah hukum merayakan hari kelahiran atau Maulid Nabi. Ada argumen antara pihak yang menganjurkan dan melarangnya masih terus berlangsung sampai saat ini. Pada tulisan ini akan ditampilkan pendapat dari MTT Muhammadiyah mengenai hal tersebut.
Pendapat dari MTT ini bisa dikatakan sangat menarik, karena inti dari pendapat ini tidak sama persis dengan dua pendapat sebelumnya. MTT berpandangan perayaan Maulid Nabi itu hukum asalnya adalah dibolehkan selama tidak ada unsur-unsur yang diharamkan seperti perbuatan maksiat atau perbuatan yang dianggap bid’ah menurut perspektif MTT.
Pendapat ini jika dikomparasikan dengan dua pendapat sebelumnya maka ada aspek perbedaan namun juga ada sisi keselarasannya. Aspek perbedaan fatwa MTT dengan pendapat yang melarang adalah karena pendapat yang melarang itu tidak membolehkan perayaan Maulid Nabi bagaimanapun bentuknya, sementara MTT membolehkan selama tidak ada unsur-unsur perbuatan yang dilarang.
Artinya MTT memandang perayaan Maulid itu sendiri tidak termasuk illat yang menyebabkannya menjadi haram. Sementara pihak yang melarang menyebutkan salah satu alasan mengapa peringatan Maulid terlarang adalah karena ada unsur membuat hari Raya baru di luar Idul Fitri dan Idul Adha yang telah ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu alahi wa sallam.
“Unsur perbedaan antara fatwa MTT dengan pendapat yang menganjurkan pelaksanaan Maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam adalah dari aspek pelarangan bentuk tertentu yang disebutkan di fatwa MTT.”
Namun aspek keselarasan dari pendapat MTT dengan pendapat yang melarang adalah pada pelarangan bentuk perayaan yang mengandung unsur-unsur yang dianggap bidah seperti yang disebutkan di fatwa MTT adanya pembacaan syair-syair yang maknanya dianggap terlalu berlebih-lebihan terhadap Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam.
Sedangkan unsur perbedaan antara fatwa MTT dengan pendapat yang menganjurkan pelaksanaan Maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam adalah dari aspek pelarangan bentuk tertentu yang disebutkan di fatwa MTT Di mana bentuk-bentuk tertentu tersebut dianggap menyerupai ibadah khusus karena ada ritual-ritual tertentu.
Seperti pembacaan qashidah Maulid Rasul yang terdapat Mahallul Qiyam pada waktu penyebutan kelahiran Rasulullah shallallahu alahi wa sallam serta ada beberapa bait yang menurut MTT dianggap sebagai bait yang memiliki unsur penghormatan yang terlalu berlebihan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.
Sementara pihak yang membolehkan bentuk-bentuk tersebut menganggap bahwasanya praktik-praktik tadi bukan perbuatan pembuatan syari’at baru tetapi hanya semata mengungkapkan ekspresi rasa syukur atas kelahiran Nabi shallallahu alahi wa sallam dan bertujuan untuk menumbuhkan kecintaan kepada beliau, sehingga bagaimanapun bentuknya selama tidak ada perbuatan maksiat di situ hukumnya dibolehkan bahkan dianjurkan.
Sementara sisi kesamaan antara MTT dan pihak yang menganjurkan adalah pada jenis-jenis lain yang memiliki kemaslahatan seperti diadakannya kajian yang berisi tema perjuangan Rasulullah shallallahu alahi wa sallam, perlombaan-perlombaan atau acara-acara lain yang sejenis.
Baca sambungan di halaman 2: Tak Ada Dalil