Tak Ada Dalil
Pendapat dari MTT ini sebagaimana disebutkan dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 4 halaman 271-274 terbitan Suara Muhammadiyah adalah karena menurut MTT tidak ada dalil yang secara tegas memerintahkan perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam atau dalil yang secara tegas melarangnya.
Dari alasan tersebut menurut perspektif penulis, MTT memasukkan perayaan Maulid Nabi ini sebagai salah satu bentuk tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Muslim yang hukum asalnya adalah dibolehkan. Ini sebagaimana disebutkan dalam salah satu kaidah fiqhiyah yang disepakati mayoritas Ulama kecuali Imam Abu Hanifah :
الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيمِ
“Hukum Asal dari sesuatu adalah dibolehkan sampai menunjukkan dalil yang mengharamkannya” (Lihat : Al-Asybah wa an-Nadhair jilid 1 hal. 107)
Kaidah di atas selain mencakup masalah hukum yang terkait dengan hukum kehalalan makan dan minuman, atau hukum benda-benda yang tidak terdapat secara jelas dalil yang menunjukkan keharamannya, menurut Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi juga berlaku untuk bentuk-bentuk transaksi muamalat serta segala bentuk perbuatan yang tidak termasuk Ibadah khusus atau adat dan kebiasaan masyarakat. (lihat : www.al-qaradawi.net/node/2241).
“Dalam masalah umur ghairu taabbudi atau perkara-perkara yang tidak masuk kategori ibadah mahdhah termasuk juga masalah muamalat maka dibolehkan untuk membuat inovasi-inovasi sekreatif mungkin.”
Pendapat ini juga berdasarkan perspektif Muhammadiyah sendiri mengenai definisi bid’ah yang terlarang. Menurut Muhammadiyah sebagaimana disebutkan dalam buku Jawab Agama Jilid 3 kategori bidah yang terlarang itu adalah hanya ada dalam masalah akidah dan ibadah yang bersifat khusus atau istilah lainnya umur ta’abbudi yang merupakan ranah Ibadah yang atau irasional di mana seorang Muslim tidak boleh mengubah, mengurangi atau menambahkannya.
Sedangkan dalam masalah umur ghairu taabbudi atau perkara-perkara yang tidak masuk kategori ibadah mahdhah termasuk juga masalah muamalat maka dibolehkan untuk membuat inovasi-inovasi sekreatif mungkin.
Demikianlah pandangan Muhammadiyah mengenai hukum memperingati Maulid Nabi yang juga berlaku untuk peringatan-peringatan sejenis seperti Isra Mikraj, Nuzulul Qur’an, Tahun Baru Hijriyah dan lain-lain. Memang pendapat ini punya titik temu dan titik seteru dengan pendapat lainnya, karena perbedaan pendapat terutama dalam masalah furu’iyah itu tidak bisa dihindari, yang bisa kita lakukan adalah memperkecil potensi terjadinya saling serang dan saling menyesatkan karena perbedaan pendapat itu.
Marilah kitai saling tolong menolong dalam masalah-masalah yang kita sepakati dan marilah kita saling bertoleransinya dalam masalah-masalah yang kita perselisihkan. Wallahu a’lam bisshawab.(*)
Editor Mohammad Nurfatoni