Syarat Badal Haji Oleh Dr Zainuddin MZ Lc MA, Ketua Lajnah Tarjih MTT PWM Jatim, Direktur Turats Nabawi Pusat Studi Hadits
Pendahuluan
Dari segi bahasa, badal artinya pengganti atau wakil. Dengan begitu, badal haji adalah seseorang menunaikan ibadah haji atas nama orang lain yang terkena udzur atau sakit yang dirinya tidak bisa diharapkan kesembuhannya dan sudah meninggal. Akibatnya, ia tidak bisa melaksanakan ibadah haji sendiri.
Di samping itu, badal haji juga bisa diartikan sebagai ibadah haji yang dilakukan oleh seseorang dengan mengatas-namakan orang lain yang sudah berkewajiban untuk menjalankan ibadah haji, tetapi orang itu memiliki halangan yang membuatnya tidak bisa menjalankannya sendiri sehingga bisa digantikan oleh orang lain.
Pertanyaannya, siapa saja yang layak membadali, apa saja persyaratannya, dan bolehkah siapapun membadali haji? Semoga tulisan ini dapat menjadi umpan balik untuk dapat dijadikan bahan diskusi.
Tidak Ada Pelimpahan Pahala
Ditemukan beberapa dalil yang menunjukkan tidak ada pelimpahan pahala dari seseorang kepada orang lain, demikian pula dalam pelimpahan dosa. Setiap orang akan mendapat apa yang ia kerjakan sendiri.
1. Firman-Nya
مَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا
Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya ia berbuat untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sungguh ia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri, dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul. (Qs. Al-Isra’: 15).
Ayat semakna di atas juga dapat dicermati dalam surat Fathir: 18; Al-Zumar: 7; Al-Najm: 38; Al-An’am: 164; Al-Najm: 39; Al-Thur: 21; Al-Baqarah: 134; 141; 281; dan 286; surat Ali Imran: 25; dan 161; dan surat Ibrahim: 51).
Dalil-Dalil Badal Haji
Ditemukan dalil-dalil yang menunjukkan badal haji. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Hadis Ibnu Abbas ra
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلَّم فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ, فَمَاتَتْ قَبْلَ أَنْ تَحُجَّ, أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ, حُجِّي عَنْهَا, أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَتَهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ, قَالَ: فَاقْضُوا اللهَ الَّذِي لَهُ, فَإِنَّ اللهَ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ وفي رواية: أَنَّ امْرَأَةً نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَمَاتَتْ, فَأَتَى أَخُوهَا النَّبِيَّ صلى اللهُ عليه وسلَّم فَسَأَلَهُ عَنْ ذَلِكَ, فَقَالَ: أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى أُخْتِكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ؟ قَالَ: نَعَمْ, قَالَ: فَاقْضُوا اللهَ, فَهُوَ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
Ibnu Abbas ra. berkata: Seorang wanita menghadap Rasulullah saw. seraya berkata: Ibuku nadzar haji, lalu ia wafat sebelum melakukannya, apakah aku diperbolehkan menghajikannya? Nabi menjawab: Silahkan, hajikanlah dia. Bagaimana pendapatmu jika ibumu memiliki hutang, bukankah anda yang menyahurinya? Ia menjawab: Ya. Maka Nabi saw. bersabda: Sahurilah hutangnya, Hutang pada Allah lebih layak ditunaikan. Dalam riwayat lain: Seorang wanita nadzar haji lalu wafat. Lalu saudaranya menghadap Nabi dan bertanya tentangnya. Maka Nabi saw. bersabda: Bagaimana pendapatmu jika suadara perempuanmu memiliki hutang, bukankah anda yang menyahurinya? Ia menjawab: Ya. Maka Nabi saw. bersabda: Sahurilah hutangnya, karena hal itu lebih layak ditepati. Hr. Bukhari: 6321, 6885; Tirmidzi: 929; Nasai: 2632; Ahmad: 3224.
Hadis-hadis yang semakna di atas juga diriwayatkan (1) Ibnu Abbas yang dikeluarkan Nasai: 2634; Nasai dalam Sunan Kubra: 3614; Thabrani dalam Ausath: 5877; (2) Ibnu Abbas juga yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah: 3039; Abu Dawud: 1811; Ibnu Majah: 2903; Abu Ya’la: 2440. (Catatan: Terkait kajian hadis ini Albani panjang lebar menjelaskan dalam Irwa’ berbagai penilaian negatif dari ulasan para ulama dan sanggahannya yang pada akhirnya menilai hadis itu shahih.); (3) Ali yang dikeluarkan Bukhari: 1442; Muslim: 1334; Nasai: 2635; Ahmad: 564; dan (4) Laqith bin Sabirah yang dikeluarkan Tirmidzi: 930; Nasai: 2621; Ibnu Majah: 2906; Ahmad: 16229.
Cara Pemaduan
Dalil-dalil di atas tampak kontradiksi, untuk dapat memadukannya maka perlu dibedakan antara konsep pelimpahan dan terlimpah (kecipratan). Yang manusia kerjakan kadang bersifat privasi, seperti shalat, namun kadang bersifat jariyah seperti melahirkan anak dan lainnya.
Pada amal jariyah itulah ia akan mendapat cipratan pahalanya, tanpa mengkorting hak pelakunya sedikitpun. Inilah yang dimaksud teori terlimpah atau kecipratan.
Banyak sekali nash yang dapat mempertajam teori kedua ini. Misalnya: Seorang menunjuki kebaikan pada temannya, lalu diamalkannya. Maka baik pelaku maupun pemberi nasehat sama-sama mendapat pahala, tanpa mengkorting hak pelakunya sedikitpun. Seorang yang memberi makan temannya yang berpuasa, maka sama-sama mendapat pahala tanpa mengkorting hak pelakunya sedikitpun. Seorang yang memfasilitasi temannya yang pergi berperang, maka keduanya mendapatkan pahala, tanpa mengkorting hak pelakunya sedikitpun.
Teori ini didukung dengan Al-Qur’an dan hadis sebagai berikut:
1. Firman-Nya
Sungguh Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan, dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh). (Yasin: 12).
2. Firman-Nya
Orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (Qs. Al-Thur: 21).
3. Hadis Abu Hurairah ra
Dinarasikan Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda: (Jika manusia wafat, maka terputuslah amalnya) (Sesungguhnya yang masih dapat sampai kepada mukmin dari amalnya dan kebaikannya setelah kematiannya) (adalah sedekah jariyah) (atau mushaf yang diwariskan, atau masjid yang ia bangun, atau rumah yang ia bangun untuk musafir, atau sungai yang ia alirkan, atau sedekah yang ia dermakan dari hartanya saat masih sehat dan hidupnya, akan juga sampai padanya setelah kematiannya) Atau ilmu yang bermanfaat) (yang ia pelajari dan ia ajarkan). Dalam riwayat lain: (Atau ilmu yang dipraktekkan orang sepeninggalnya) (atau anak saleh yang ia tinggalkan). Dalam riwayat lain: (Atau anak saleh yang mendoakannya). Hr. Muslim: 1631; Tirmidzi: 1376; Nasai: 3651; Ibnu Majah: 241, 242.
4. Hadis Abu Hurairah ra
Dinarasikan Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda: Allah meninggikan derajat hamba yang saleh di surganya. Lalu ia berkata: Ya Tuhan kenapa aku dapat kedudukan seperti ini? Tuhan menjawab: Lantaran istighfar anakmu. Hr. Ibnu Majah: 3660; Ahmad: 10618. Periksa Shahihah: 1598.
5. Hadis Anas ra
Dinarasikan Anas ra., Rasulullah saw. bersabda: Tujuh hal yang akan terus mengalir pahalanya bagi hamba, saat ia dalam kubur setelah kematiannya. Yaitu Ilmu yang ia ajarkan, sungai yang ia alirkan, sumur yang ia gali, kurma yang ia tanam, masjid yang ia bangun, mushaf yang ia wariskan, anak yang memohonkan ampunan baginya setelah kematiannya. Hr. Baihaqi dalam Syuabul Iman: 8284; Abu Nuaim dalam Hilyah: 2757.
6. Hadis Salman ra
Dinarasikan Salman ra., Rasulullah saw. bersabda: Empat amalan orang hidup yang pahalanya terus mengalir sampai kematiannya. Yaitu yang meninggalkan keturunan yang saleh, lalu mendoakannya, maka tersampaikan doanya; seorang yang bersedekah jariyah, maka baginya pahala dan seterusnya; seorang yang mengajarkan ilmu lalu dipraktekkan oleh generasi sesudahnya, maka ia memperoleh seperti pahala pelakunya, tanpa mengkorting pahalanya sedikitpun; seorang yang berjaga di garda depan jihad di jalan Allah, pahalanya terus dikembangkan sampai pada hari perhitungan. Hr. Thabrani dalam Kabir: 6181; Thabrani dalam Musnad Syamiyin: 3531. Periksa Shahihah: 3984.
Dalam studi teks hadis juga dapat difahami. Redaksi hadis yang menunjukkan pelimpahan-pelimpahan dalam haji, dalam puasa dan lainnya menggunakan “an” bukan “li”. Seperti “hujji anha”, bukan “hujji laha”. Lafaz “an” berkonotasi niyabah, sedangkan lafaz “li” berkonotasi lil milki. Dengan demikian baik yang mewakili maupun yang diwakili sama-sama mendapatkan pahala, yang tidak mengkorting sedikitpun.
Catatan Akhir
Pada hadis terlimpahnya pahala badal haji memiliki kriteria yang sangat ketat. Yaitu adanya ikatan perwalian antara anak dengan bapak atau sesama saudara, adanya udzur syar’i, yang dibadali hanyalah haji wajib atau nadzar sehingga mempunyai hutang yang harus dibayarkan, dan yang membadali juga sudah haji.
Sudah menjadi tradisi umat, kalau ada yang meninggal maka pihak keluarga menginformasikan jika masih ada sangkut paut hutang mayit agar dapat diselesaikan dengan pihak keluarga. Mereka yang akan menyelesaikan tanggungan hutang, bukan mayit. (*)
Artikel ini telah dimuat majalah Matan Edisi 204 Juli 2023
Editor Mohammad Nurfatoni