Hukum Mengirim Zakat ke Daerah Lain; Oleh Ivana Kusuma, Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Blitar.
Tarjihjatim.pwmu.co – Seluruh ulama sepakat bahwa pada dasarnya zakat harus dibagikan di daerah asal zakat itu dikumpulkan.
Dahulu Rasulullah ﷺ mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, di antaranya untuk menyampaikan kewajiban zakat yang “diambil dari orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang miskin mereka” (HR Bukhari dan Muslim). Begitu pula Khulafaur Rasyidin memerintahkan petugas mereka untuk membagikan zakat di daerah asal zakat tersebut.
Hikmahnya adalah menjaga hak tetangga, melatih setiap daerah agar memperbaiki ekonominya dan jangan bergantung pada daerah lain, menjaga hubungan baik orang kaya dan orang miskin di suatu daerah, dan sebagainya.
Jika Ada Surplus Zakat di Daerah Asal
Seluruh ulama juga sepakat bahwa jika zakat sudah lebih dari kebutuhan daerah asalnya, maka zakat tersebut boleh dikirim ke daerah lain.
Hal ini karena fungsi zakat sudah terlaksana dengan baik di daerah asal pengumpulannya, sehingga -daripada terbuang- boleh didayagunakan untuk membantu daerah lainnya.
Jika Tidak Ada Surplus Zakat di Daerah Asal
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum memindahkan zakat dari suatu daerah yang masih membutuhkannya ke daerah lain yang juga membutuhkan. Pendapat yang kami pilih adalah boleh memindahkan zakat ke negeri lain sesuai kebijakan pemimpin.
Ketika terjadi krisis ‘banyak orang murtad’ di masa Khalifah Abu Bakar, ‘Adi bin Hatim mengirimkan zakat dari penduduk daerahnya ke Madinah.
Dahulu ketika paceklik, Khalifah Umar bin Khattab mengirim seseorang untuk mengumpulkan zakat penduduk suatu daerah selama dua tahun (tahun ini dan tahun depan), “Kumpulkan dari mereka zakat selama dua tahun, lalu kamu bagi dua. Yang satu dibagi di tengah mereka (penduduk setempat), dan satu lagi kamu kirim ke sini (Madinah)”.
Bahkan dalam hadits shahih riwayat Abu ‘Ubaid dalam kitab al Amwâl disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda kepada Qabishah bin Mukhariq: “Diamlah di sini sampai sedekah (zakat) sampai ke kita”. Sedekah yang beliau maksud adalah sedekah penduduk setempat yaitu Hijaz, padahal Qabishah bin Mukhariq berasal dari Najd.
Bukan hanya pemimpin yang boleh memperbantukan zakat suatu daerah ke daerah lain, para individu (perseorangan) pun juga boleh membayarkan zakatnya ke daerah lain jika ada maslahat yang jelas. Misalnya adalah terjadi penjajahan atau bencana alam yang dialami oleh kaum muslimin di daerah lain. (*)
Referensi
- Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah I/372-373
- Al Amwâl karya Imam Abu ‘Ubaid Qasim bin Sallam II/278 dan 281
- Fiqh az Zakâh karya Syaikh Yusuf al Qaradhawi hal. 809-820.
Editor Mohammad Nurfatoni