Mencetak Generasi Rabbani
Dalam praktiknya, seperti dijelaskan dalam isi kandungan al-Qur’an Surah Ali Imran 79, pencerahan yang dilakukan oleh siapapun terhadap generasi muda millenial itu adalah fokusnya menjadikan mereka menjadi generasi rabbani, mencetak mereka sebagai generasi rabbani. Al-Tustari mendefinisikan rabbani adalah orang yang mencapai derajat keilmuan dengan keilmuan yang mumpuni. Keilmuan yang mumpuni di sini adalah bukan ilmu yang instan, bukan ilmu yang diperoleh dengan cara plagiasi, bukan ilmu yang diperoleh tanpa guru.
Oleh karena itu, yang disebutkan dalam ayat ini yang diharuskan menjadi rabbani adalah orang yang mengajar al-Qur’an. Fokusnya adalah mengajarkan al-Qur’an dengan cara rabbani. Dalam kaitan cara mengajar yang rabbani adalah berusaha mencetak murid-muridnya menjadi generasi rabbani. Yakni, membentuk murid-muridnya memiliki ilmu yang mumpuni, tidak melakukan plagiasi, tidak cengeng dalam belajar dengan kemalasan, keengganan, dan tanpa perhatian, serta terus berkhidmah dalam mendekat dengan guru untuk memperoleh keberkahan ilmu.
Dalam kaitan ini, al-Tustari membagi orang yang berilmu kepada tiga kategori, yaitu: rabbani, nurani, dan dzati. Ketiganya sama levelnya. Yang membedakannya hanya pada polanya. Rabbani polanya dalam belajar mengajar di lembaga pendidikan ataupun di ruang publik pada umumnya; nurani polanya dalam menisbahkan aktifitasnya untuk semakin taat dan tunduk kepada Allah SWT; dan dzati polanya dalam menyerahkan aktifitas penghambaannya dalam bentuk apapun kepada Allah Swt., hanya fokus kepada pengharapan akan ridha-Nya.
Bila tujuan, proses dan pola pencegahan menjaga iman, hudan, dan upaya menjadi rabbani, dalam mengelola generasi muda dapat dilakukan dengan baik, maka watak dan pola pikir generasi stroberi tidak akan diidap oleh generasi muda. Kuncinya ada pada konsistensi (istiqamah), persistensi (iltizam), dan pembiasaan (ta’awwud) menjalankan panduan pencegahan tersebut dalam seluruh tujuan, proses, program, dan output dari kaderisasi generasi muda kita.
Dalam praktiknya, secara programatik dan kewilayahan, para pengelola kaderisasi dapat secara kreatif dan leluasa menerjemahkan prinsip menjaga iman, hudan, serta mencetak generasi rabbani itu. Yang penting diperhatikan adalah bahwa secara prinsipil, dalam pelaksanaan pengelolaan kaderisasi harus memenuhi unsur-unsur makna keimanan, hudan, dan rabbani sebagaimana diuraikan di atas. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni