Wasathiyah Muhammadiyah; Oleh Moh. Nurhakim PhD, Tim Ahli Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.
Tarjuhjatim.pwmu.co – Belakangan ini, khususnya setelah Era Reformasi kita dihadapkan pada maraknya gerakan-gerakan yang mengusung berbagai ideologi Islam baik berskala nasional maupun transnasional. Tak jarang di antaranya mengklaim diri bahwa gerakannya yang benar dan moderat, sementara yang lain liberal, sekuler, ekstrim, radikal, fundamentalis, teroris, anti-NKRI, atau sebutan lain yang bernada negatif.
Lebih-lebih hari ini sering suatu kelompok disudutkan dengan stigma yang dianggap radikal. Salah satu akibatnya pesantren yang dirintis santrinya diusir; ada masjid yang dikelola dibakar massa; dan bahkan dai tertentu yang diundang ditolak oleh sekelompok masyarakat.
Dalam pada itu, konsep wasthiyah Islam bisa muncul bermacam-macam, dan rumusan-rumusannya belum terbakukan. Termasuk paham wasthiyah yang dipahami oleh Muhammadiyah.
Tulisan ini akan membahas posisi tengahan Islam (wasthiyah) dalam Muhammadiyah, dan bagaimana ikhtiar Muhammadiyah menghadapi tarikan berbagai ideologi dari posisi yang semestinya itu.
Konsep Wasathiah
Dari segi etimologi (lughawi), kata wasthiyah berasal dari wa-sa-tha, dibaca dua versi: “wasth” (sukun); kedua dan“wasath” (fathah). Yang pertama berkedudukan sebagai dharaf berarti posisi “di antara” (baina) dua hal yang saling berlaian. Contoh kalimat, “Aku duduk di tengah (wasth) komunitas.”
Menurut Ibn Manzdur dalam Lisan al-‘Arab, pertengahan antara dua posisi ekstrim itu seperti sifat dermawan, yaitu posisi tengah antara kikir dan mubazir, dan sifat pemberani adalah posisi tengah antara pengecut dan ceroboh.
Sedang yang kedua (wasath) berkedudukan sebagai isim, berarti posisi di tengah sesuatu (al-tamakkun fi al-wasath). Contoh kalimat, “Saya duduk pada posisi tengah (wasath) rumah.”
Kata wasath juga mempunyai makna lain seperti adil, bagus, utama, dan setengah (nisf). Disebut adil karena posisinya tegak di tengah. Disebut bagus karena sebaik-baik perkara adalah yang tengah. Dan dikatakan setengah karena dia berada di antara dua hal: kanan dan kiri.
Menurut Ibn Faris, kata wasath berarti pula “adil dan tengah” (al-ádl wa al-nishf). “Setiap apa yang diberi label adil yang mengandung kebaikan dan posisi tengahan pasti sejalan dengan arahan-arahan syariah dan maqasid-nya.”
Selain diartikan tengahan, kata wasathiah juga dimaksudkan juga dengan al-ádl wa al-khiyar (adil dan bagus), al-istiqamah (konsisten), al-iqtishad (sederhana), al-shirath al-mustaqim, (jalan lurus), dan as-sunnah (jejak Rasul).
Adapun dari segi terminologi (ishtilahi), kata wasthiah atau tengahan dapat didefinisikan, sebagaimana dinyatakan oleh Yusuf Qardhawi, “Posisi tengahan (tawassuth) dan seimbang (ta’adul) di antara dua sudut yang berhadap-hadapan atau berlawanan. Di mana seseorang tidak berat sebelah dalam bersikap dan beramal.”
Sementara, menurut Rasyid Ridha, bahwa dalam konteks umat tengahan sebagaimana diisyaratkan oleh al-Baqarah: 143, dapat diartikan bahwa sifat umat Muslim itu tegak pada posisi utama di antara dua posisi lain yang keduanya tidak dikehendaki Allah.
Jika ada pelebihan dari yang dikehendaki berarti posisi itu ifrath (berlebihan). Sementara jika ada pengurangan berarti posisi itu tafrith (kurang). Maka, baik posisi ifrath maupun posisi tafrith sama-sama tercela karena condong dari posisi tengah yang tegak. Padahal posisi yang baik adalah posisi umat tengahan di antara dua posisi lainnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa wasathiyah Islam dapat diartikan sebagai Islam tengahan yang mempunyai ciri-ciri: utama, bagus, adil, seimbang, dan tengah.
Baca sambungan di halaman 2: Sifat Wasathiyah Islam