Oleh Dr. Piet Hizbullah Khaidir, S.Ag., MA.
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu al-Qur’an dan Sains al-Ishlah (STIQSI) Lamongan; Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan; dan Ketua Divisi Kaderisasi dan Publikasi MTT PWM Jawa Timur
Uslub al-Qur’an memuat tiga lapis dhamir (kata ganti) dalam kalimat tawhid, yaitu dhamir huwa (dia), anta (engkau), dan ana (aku). Kalimat tawhid dengan tiga lapis dhamir tersebut adalah: “Laa ilaaha illaa huwa”; “Laa ilaaha illaa anta”; dan “Laa ilaaha illaa ana”. Dalam Bahasa Arab, kata ganti yang pertama disebut dhamir ghaib, sedangkan yang kedua dinamai dhamir mukhathab, dan yang ketiga disebut dhamir mutakallim.
Dhamir ghaib adalah kata ganti yang kerap disebut sebagai orang ketiga atau orang yang menjadi objek pembicaraan oleh orang kedua dan pertama. Dhamir mukhathab yakni kata ganti yang biasanya disebut orang kedua, atau orang yang diajak berbicara. Dhamir mutakallim merupakan kata ganti yang ghalibnya dinamai sebagai orang pertama atau orang yang mengajak berbicara. Dalam kaitan dengan kalimat tawhid, bagaimana cara memahami uslub al-Qur’an dengan tiga lapis dhamir tersebut, dan apa makna yang dapat diuraikan dari uslub tersebut?
Tawhid
Imam Abu Hanifah dalam Kitab Fiqh al-Akbar mengatakan bahwa bertawhid yang benar adalah ketika orang berkata dan meyakini bahwa dia mengimani rukun iman yang enam, yaitu: iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab Allah, rasul-rasul Allah, kehidupan/kebangkitan setelah kematian, dan takdir baik-buruk semuanya dari Allah. Implikasi tambahannya adalah orang itu juga mengimani hari pembalasan dan timbangan amal perbuatan selama di dunia. Selanjutnya, dia juga mengimani adanya surga dan neraka sebagai sesuatu yang benar.
Ulama yang dikenal dengan nama Nu’man ini menjelaskan bahwa tawhid juga berkenaan dengan keyakinan bahwa Allah itu Maha Esa. Keesaan Allah bukan dalam konsepsi jumlah rasional matematika, tetapi dalam konsepsi keyakinan bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Tidak ada satupun yang dapat sebanding dengan-Nya, dan tidak ada satupun yang serupa dengan-Nya. Begitupula, tidak ada satu makhlukpun yang dapat menyerupai-Nya, baik nama-Nya, sifat Dzatiyah-Nya, maupun fi’liyyah-Nya.
Nu’man mengkategorikan sifat Dzatiyah Allah, yakni sifat Hayat (Maha Hidup), Qudrah (Maha Kuasa), ‘Ilm (Maha Mengetahui), Kalam (Maha Berbicara), Sama’ (Maha Mendengar), Bashar (Maha Melihat), dan Iradah (Maha Berkehendak). Sedangkan yang masuk kategori sifat Fi’liyah Allah, yaitu Takhliiq (Maha Menciptakan), Tarqziiq (Maha Memberi Rezeki), dan lain sebagainya.
Sementara itu, pembagian tawhid menurut syaikh al-Sa’di dalam Kitab Taysir menjadi tiga, yaitu: tawhid uluhiyah, tawhid rububiyah, dan tawhid asma wa sifat. Guru dari Syaikh Utsaimin ini menjelaskan bahwa tawhid uluhiyah adalah meyakini Allah sebagai Tuhan dan sesembahan yang tiada sekutu bagi-Nya. Sedangkan, tawhid rububiyah adalah mengimani bahwa alam semesta ini dalam keteraturan karena kekuasaan dan perawatan Allah Swt. Adapun tawhid asma’ wa sifat adalah meyakini bahwa Allah Swt memiliki nama-nama dan sifat-sifat agung yang tiada siapapun atau apapun yang dapat menandingi dan menyerupai-Nya. Pembagian tawhid menjadi tiga bagian yang berbeda adalah tawhid uluhiyah, tauhid mulkiyyah, dan tauhid rububiyyah. Kelompok yang mengajukan konsepsi tawhid ini menolak tawhid asma wa sifat, sebab penyematan asma dan sifat ke dalam tawhid kurang dapat secara sempurna melakukan penyucian (tasbih dan tanzih) terhadap Dzat Allah dalam konteks ketuhanan ataupun kekuasaan.
Tawhid dan Asma’ al-Husna
Ratib al-Nabulsi dalam Kitab Mawsu’ah Asma’ Allah al-Husna menjelaskan bahwa nama-nama Allah dan sifat-Nya yang indah itu terkait dengan tawhid. Tawhid itu adalah fondasi dan pokok ajaran agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Pokok ajaran inti agama yang dibawa cicit Nabi Ibrahim dan Ismail As., ini adalah mengenal Allah (ma’rifatullah). Dengan kata lain, mengenal Allah dapat dilakukan melalui memahami secara mendalam al-asma’ al-husna (nama-nama Allah yang Indah). Pemahaman secara mendalam atas al-asma’ al-husna akan menghantarkan seseorang kepada pemahaman akan al-Qur’an. Sementara itu, pemahaman dan pengamalan al-Qur’an akan membuat seseorang selamat dunia akherat, dijauhkan dari siksa api neraka, dan diberkahi dengan kebaikan dalam menjalankan ibadah.
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurayrah, dan dihimpun oleh Imam Bukhari dalam Kitab Shahihnya menyebutkan, Rasulullah Saw., bersabda bahwa sesungguhnya Allah Swt., memiliki 99 nama, 100 kurang satu. Barangsiapa menjaganya (ahshaahaa) maka masuk surga. Ratib al-Nabulsi menjelaskan isi kandungan hadits ini, yakni: Pertama, nama-nama Allah itu tidak berbatas jumlah. 99 nama, atau disebut 100 kurang satu, menegaskan bahwa nama-nama Allah tidak dibatasi jumlah. Ilmu-Nya melampaui alam semesta. Ketika ranting pohon di seluruh dunia ini dijadikan pena, dan air laut berlapis tujuh samudera dijadikan tinta, maka tak akan cukup untuk menguraikan ilmu Allah Swt.
Kedua, kata kunci ‘menjaganya’ (ahshaahaa) memiliki beberapa makna penting, dan karenanya disebut dalam teks hadits menjadi jaminan masuk surga. Makna-makna ahshaahaa, yaitu: 1). Berdoa menggunakan wasilah asma’ al-husna tanpa membedakan salah satunya atau sebagiannya, melainkan harus keseluruhannya. Ketika berdoa dengan menyebut ‘Yaa Fattaah’ misalnya, maka di dalam hati seseorang yang berdoa tersebut harus menyertakan adanya keyakinan tentang seluruh nama-nama Allah yang dilantunkannya sebagai doa. Sebab, nama-nama Allah itu satu kesatuan yang tak terpisahkan. Berdoa dengan memuji Allah menggunakan nama-nama indah-Nya secara keseluruhan merupakan jalan keyakinan yang sempurna yang dapat menghantarkan seseorang memperoleh surga Allah. Memperoleh pengabulan doa.
2). Memahami maknanya secara detail, disertai upaya mengagungkan-Nya dalam keyakinan dan amaliyah ibadahnya. Di dalam shalat misalnya, ketika menyebut nama-nama Allah harus disertai pemahaman akan nama tersebut secara detail, meyakini dan mengagungkan-Nya. 3). Berakhlak dengan sifat yang terkandung dalam makna-makna asma’ al-husna tersebut. Jika seseorang telah memahami dengan baik nama Allah ‘al-Rahman’, misalnya. maka seseorang tersebut harus berusaha berakhlak dengan mengimplementasikan kandungan makna yang ada di dalam nama tersebut.
Mengutip Abu al-‘Abbas bin Ma’din, al-Nabulsi menegaskan bahwa makna ahshaahaa terkait dengan asma’ al-husna harus mengikuti apa yang tercantum di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, baik dalam kaitan pemaknaan, amaliyah, ataupun ibadah. Sebab, mengutip Abu al-Hasan al-Qabisi, al-Nabulsi mengatakan bahwa asma’ al-husna hanya dapat diketahui dan dipahami secara tawqifi dari al-Qur’an dan al-sunnah, dan ijma’. Tidak bisa menggunakan pemahaman qiyas. Dengan kata lain, penjelasan akan al-asma’ al-husna hanya dapat diketahui melalui penafsiran atas al-Qur’an dan al-Hadits, dan kesepakatan mayoritas ulama. Tidak bisa dengan penggunaan rasionalitas yang tak berdasar.
Namun demikian, penulis berpendapat bahwa ijma’ yang dimaksud bukanlah monopoli kesepakatan ulama madzhab tertentu, atau bidang ilmu tertentu. Ijmak di sini adalah kesepakatan yang terbuka. Pemahaman boleh saja berbeda, yang terpenting didasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Sama seperti asma’ al-husna itu sendiri yang memiliki makna sangat luas, maka, memahaminyapun harus pula dengan wawasan luas dan komprehensif.
Tafsir Tawhid Tiga Lapis Dhamir
Uslub al-Qur’an tentang tawhid memuat paling banyak dhamir huwa dibandingkan dhamir anta dan ana. Yang menyebut dhamir huwa, yaitu di antaranya: al-Qur’an Surah al-Baqarah [2]: 163 dan 255; Ali Imran [3]: 2, 6, dan 18; al-Tawbah [9]: 129; al-Ra’d [13]: 30; Thaha [20]: 8. Sedangkan yang menyebut dhamir anta hanya terdapat dalam al-Qur’an Surah al-Anbiya’ [21]: 87. Adapun yang menyebut dhamir ana tersebut dalam al-Qur’an Surah al-Nahl [14]: 2; Thaha [20]: 14; dan al-Anbiya’ [21]: 25. Terhadap ayat-ayat di atas, penulis ingin mengetahui tentang bagaimana dan apa makna di balik tiga lapis dhamir ini melalui tafsir-tafsir al-Qur’an. Masing-masing cukup diwakili dari penjelasan satu kitab tafsir atas setiap satu ayat al-Qur’an yang dipilih.
Untuk dhamir huwa dipilih al-Baqarah [2]: 163. Tentang ayat tersebut, Tafsir al-Wajiz, menjelaskan bahwa Allah adalah Tuhan yang wajib disembah. Tidak ada Tuhan selain Dia. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Tidak berbilang, Maha Esa. Dialah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dalam ayat ini, Allah dengan dhamir huwa menjadi objek yang dibahas dan dijelaskan sebagai Tuhan. Secara dialogis, Tuhan tidak berelasi langsung dengan yang membahas ataupun yang diajak membahas. Tuhan sebagai objek penafsiran dijelaskan agar dipahami oleh makhluk-makhluk-Nya.
Dhamir anta satu-satunya ayat yang menyebutnya adalah al-Anbiya [21]: 87. Dalam Tafsir al-Qurthubi dijelaskan bahwa ayat ini bercerita tentang Nabi Yunus As., yang merasa menzalimi diri sendiri. Dia merasa kecewa (dhiq al-shadr) ketika menyampaikan pesan nubuwwah dicueki oleh umatnya. Dia lalu menyingkir dan mutung tidak mau lagi berurusan dengan dakwah terhadap umatnya. Dia kemudian memohon ampun kepada Allah dalam dialog yang sifatnya langsung, ketika dalam gelap berada di dalam perut ikan paus. Kesalahan yang dia rasakan terdapat pada posisinya yang lari dari tanggung-jawab. Maka, dia berdoa dengan kalimat tawhid yang berfungsi sebagai dialog yang diawali olehnya secara pro-aktif: “laa ilaaha illaa anta, subhaanaKa innii kuntu min al-zaalimiin”.
Sementara itu, untuk dhamir ana disajikan dari tafsir atas al-Qur’an Surah Thaha [20]: 14. Dalam tafsir Ibn Katsir disebutkan bahwa ayat ini berkisah tentang Nabi Musa yang berdialog secara langsung dengan Allah. Nabi Musa yang semula memulai dialog, yang selanjutnya dengan iradah-Nya, Allah sebagai mutakallim menyebutkan diri-Nya dengan mengatakan, tiada tuhan selain Aku. Laa ilaaha illaa ana. Dialog Allah Swt., dan Musa As., adalah dialog yang unik dan mendalam. Sebab, dalam dialog tersebut yang proaktif adalah Allah Yang Maha Aktif. Allah Maha Menyapa. Nabi Musa siap menerima perintah untuk bertawhid. Nabi Musa siap menerima perintah dzikir dan shalat.
Penutup: Dimensi Dialog dengan Tuhan
Yang dapat dipelajari dari makna di balik tiga lapis dhamir dalam tawhid, yaitu ada tiga dimensi dialog antara manusia dan Tuhannya. Dialog yang pertama adalah dialog manusia dan manusia lainnya, membicarakan tentang Tuhan, membahas tentang Tuhan, berdoa kepada Tuhan. Posisi Tuhan seolah berada jauh dari manusia yang berdoa itu. Allah sebagai orang ketiga tak disadari kehadirannya. Manusia-manusia itu terlalu asyik berdialog antar mereka sendiri membicarakan tentang Tuhan tersebut. Secara tak langsung, manusia sedang berdialog dengan pikirannya tentang topik Tuhan bersama pikiran manusia lainnya. Mereka seolah tak bersentuhan dengan Tuhan, melainkan hanya membicarakan konsepsi mereka tentang Tuhan. Mereka seperti membangun jarak dengan Tuhan.
Dialog yang kedua dilakukan secara langsung antara manusia dan Tuhan. Dialog yang diadakan dengan lumayan dekat. Kendati demikian, seolah masih ada sekat. Sekat karena merasa bersalah. Sekat karena merasa harus berefleksi akan tanggungjawab yang harus dilaksanakan. Manusia itu melaporkannya secara langsung kepada Tuhan. Dialog disampaikan secara tawajjuh (berhadapan langsung), meski masih ada jarak baik dekat atau jauh. Tetapi, dalam dialog ini, manusia menjadi yang berbicara terlebih dahulu. Tuhan diajak berdialog. Manusia sebagai mutakallim, dan Tuhan sebagai mukhathab.
Dialog yang ketiga dilakukan dengan sangat dekat, tanpa ada jarak. Yang mengajak bicara terlebih dahulu adalah Tuhan. Manusia yang diajak bicara. Tuhan sebagai mutakallim, dan manusia sebagai mukhathab. Tanpa sekat. Tuhan menyapa manusia, dan mengenalkan diri-Nya. Inilah Aku, Tuhanmu yang harus disembah dengan kesadaranmu. Karena Aku bahkan lebih dekat dengan urat lehermu, seperti dalam Qaf [50]: 16. Manusia yang diajak bicara siap menerima perintah, dengan tunduk dan penuh kesadaran dan kepasrahan.
Akhirul kalam, tawhid dengan tiga lapis dhamir mengajarkan kepada kita tentang mengenal Allah. Tawhid sebagai cara dan ilmu mengenal Allah merupakan jalan keselamatan dan kebahagiaan. Semua pilihan cara bertawhid baik dengan dhamir huwa, anta, dan ana, semua syar’i. Pilihan penggunaan dhamir bagi awam bisa dengan dhamir huwa. Dialog dengan dhamir huwa masih terbangun jarak. Pilihan bagi orang yang memulai berdialog langsung dengan Tuhan, tapi masih ada sekat adalah dhamir anta. Dalam dialog model kedua ini manusialah yang aktif. Manusia menyapa Tuhan seolah di depannya. Pilihan bagi dialog yang sangat dekat, tanpa ada lagi sekat adalah dhamir ana. Dalam dialog ini Allah yang aktif, manusia yang bersiap mendengar. Tidakkah kita ingin sangat intim dengan Allah, dan menjadikan Allah sebagai bestie kita? Wallahu a’lam.
Gubeng, 13 Februari 2025.