Bolehkah Meminjamkan Dana Zakat untuk Mustahiq dengan akad Qardul Hasan? Oleh: Dr Aji Damanuri MEI (Ketua majelis tarjih dan tajdid PDM Tulungagung dan ketua Dewan Pengawas Syariah (DPS) Lazismu Tulungagung).
Tarjihjatim.pwmu.co – Dalam literature klasik, hampir tidak ditemukan pembahasan tentang penyaluran zakat dengan cara meminjamkan atau al Qordhul Hasan.
Pendistribusian zakat dengan mekanisme qardul hasan adalah fenomena baru yang dilakukan oleh para pengelola lembaga amil zakat.
Langkah ini didasarkan pada realitas terbatasnya dana zakat (tidak sesuai dengan rasio jumlah orang islam di indonesia), sementara kebutuhan untuk mustahik terus meningkat.
Mekanisme qardul hasan juga didasarkan pada maraknya para mustahiq kususnya golongan fakir miskin yang terlilit hutang rentenir.
Para pedagang kaki lima, usaha super mikro, pedagang pasar banyak yang meminjam pada bank titil dengan bunga tinggi. Bahkan beberapa akhirnya terperosok pada bunga dan denda yang tidak rasional. Apa lagi muncul aplikasi pinjaman online yang banyak memakan korban.
Para pedagang atau pengusaha supermikro ini memiliki tradisi usaha atau berdagang meski dengan modal minim, di bawah Rp. 500.000.
Maka membantu mereka harus tetap menjaga kehormatan mereka sebagai pedagang, bukan malah melemahkan mereka dengan ketergantungan pemberian konsumtif.
Perinsip pemberdayaan menjadi kata kunci dalam pengelolaan dana zakat kontemporer, bagaimana mengubah mustahiq menjadi muzakki.
Artinya, pemberdayaan mustahiq juga harus memperhatikan tradisi dan kompetensi mustahiq dengan berbagai profesinya, baik petani, pedagang, pengusaha super mikro.
Pemberian pinjaman dana zakat dengan mekanisme qardul hasan harus dipandang sebagai proses pendidikan, membangun rasa tanggungjawab dan menumbuhkan etos kerja bagi para mustahiq.
Namun demikian, kita juga harus memahami perdebatan boleh dan tidaknya meminjamkan dana zakat kepada mustahiq. Paling tidak ada dua kelompok dalam mensikapi masalah penyaluran zakat dengan cara qardul hasan ini.
Kelompok pertama, seperti Yusuf al-Qardhawi, Abu Zahrah, Khallaf dan Hasan mengatakan boleh harta zakat dipinjamkan berdasarkan qias (analogi) terhadap orang yang berhutang.
Yusuf al-Qardhawi menggunakan metode qiyas aulawiy. Qiyas Aulawiy ini adalah hukum furu’ lebih utama daripada hukum ashal.
Begitupula tentang peminjaman (al-qardl) menggunakan harta zakat ini bahwa apabila hutang saja boleh dibayarkan dari harta zakat.
Artinya, jika hutang bisa dibayarkan dari uang zakat, maka lebih utama memberikan pinjaman (al qardh al hasan) saat ini dari pada riba, agar bisa dikembalikan ke bait al mal, dan menjadikannya (meminjamkan uang kepada gharim dengan al qardh al hasan) sebagai qiyas aula.
Walaupun al-Qur’an saat menyebutkan asnaf yang berhak menerima zakat, menggunakan huruf laam yang berarti littamlik (untuk kepemilikan), namun dalam ilmu Fiqih, kepemilikan tidak selamanya berarti tamlikul ‘ain (kepemilikan benda), namun juga dalam bentuk tamliikul manfa’ah (kepemilikan manfaat).
Sementara itu kelompok kedua, seperti Muhammad Bin Shalih Utsaimin dan Husein Shahatah berpendapat bahwa harta zakat apabila semua syarat telah terpenuhi dan telah dibayarkan, maka wajib untuk segera dikeluarkan, karena harta tersebut kepemilikannya menjadi milik mustahik zakat (orang yang berhak menerima zakat) dan orang yang mengeluarkan zakat tersebut tidak memiliki hak lagi dengan harta yang telah dia bayarkan.
Oleh karena itu, tidak diperbolehkan bagi lembaga atau badan amil mendistribusikan zakat dalam bentuk al qardh (pinjaman) dengan memberikan syarat kepada mustahik (penerima) zakat untuk mencicilnya dengan kurun waktu tertentu, karena harta zakat apabila telah dibayarkan maka harta tersebut milik mustahik secara merdeka.
Utsaimin memberikan beberapa alasan. Pertama, Allah menjelaskan bahwa harta zakat hanya menjadi hak delapan ashnaf. Lafadz innama memberi makna “Hashr” (pembatasan). Huruf lam pada kata lil fuqara adalah huruf yang bermakna “lam al-milk”. Lafadz innama menunjukkan bahwa harta zakat dibatasi pemanfaatan dan pemberiannya kepada delapan ashnaf yang berhak atas harta zakat itu.
Menghutangkan harta zakat atau menginvestasikannya bermakna memberikan manfaat harta tersebut kepada orang yang tidak berhak.
Hal ini bermakna tidak melaksanakan surat at-Taubah ayat 60 dan itu terlarang. Jika yang berhutang termasuk delapan ashnaf, maka dia justru diberi bagian harta zakat, bukan dihutangi.
Kedua; membagikan harta zakat kepada delapan ashnaf hukumnya wajib, dan hukum asal pelaksanaan kewajiban adalah dilakukan langsung tanpa ditunda-tunda selama tidak ada udzur syar’i.
Pelaksanaan kewajiban tanpa menunda-nunda adalah sifat hamba-hamba yang shalih sebagaimana para malaikat di langit langsung melaksanakan perintah bersujud kepada Adam ketika diperintahkan bersujud.
Ketiga, sunnah Rasulullah saw adalah membagikan harta zakat dengan segera tanpa menunda-nunda. Ada riwayat yang berarti; ”Dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa ‘Uqbah bin Al Harits radliallahu ‘anhu menceritakan kepadanya, katanya: ‚Nabi Saw shalat ‘Ashar berjama’ah bersama kami. Tiba-tiba Beliau dengan tergesa gesa memasuki rumah. Tidak lama kemudian Beliau keluar, dan aku bertanya atau dikatakan kepada Beliau tentang ketergesaannya itu.
Maka Beliau berkata,: Aku tinggalkan dalam rumah sebatang emas dari harta zakat. Aku tidak mau bila sampai bermalam, maka aku membagi bagikannya‛.
Keempat, kepercayaan muzakki kepada wakil yang diserahi menyalurkan zakat kepada orang-orang yang berhak adalah amanah. Menunaikan amanah adalah wajib, dan mengkhianatinya hukumnya haram.
Seandainya pun muzakki mengizinkan kepada wakil yang dipercayainya menyalurkan zakat untuk mengelolanya baik dihutangkan maupun diinvestasikan, maka hal ini juga tetap terlarang.
Hal itu dikarenakan zakat adalah hak Allah bukan hak hamba. Perbedaan hak Allah dengan hak hamba adalah; hak Allah tidak dapat digugurkan sementara hak hamba bisa digugurkan.
Zakat termasuk hak Allah karena tidak dapat digugurkan meski delapan ashnaf semuanya tidak ada. Tapi piutang adalah hak hamba karena bisa digugurkan, yakni ketika diputihkan. Berbeda halnya jika harta yang disalurkan adalah harta sedekah.
Dalam kondisi ini harta bisa dihutangkan atau diinvestasikan dengan seizin orang yang bersedekah. Sebab, sedekah hukumnya sunnah, tidak wajib sehingga bisa dibatalkan kapanpun diinginkan.
Sedangkan menurut Majelis Ulama Indonesia, pada dasarnya dana zakat mal harus didistribusikan kepada mustahik sesegera mungkin (‘ala al faur) untuk dimiliki dan dimanfaatkan.
Penyaluran dana zakat dalam bentuk Al Qardh Al Hasan hukumnya boleh atas dasar kemaslahatan yang lebih luas, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Penerima dana zakat termasuk mustahik zakat.
b. Dana yang diterima dimanfaatkan untuk usaha.
c. Pihak amil harus selektif dalam menyalurkan dana zakat
d. Penerima zakat harus mengembalikan sesuai dana yang diterima.
e. Apabila mustahik belum mampu mengembalikan hingga jatuh tempo, ditangguhkan waktunya.
Pendapat Muhammadiyah
Lalu bagaimana pendapat Muhammadiyah? Secara resmi Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan pusat Muhammadiyah belum mengeluarkan fatwa.
Namun secara personal para ulama Muhammadiyah sering menyampaikan pemikiran tentang qardul hasan ini.
Misalnya ketua majelis tarjih ustadz Hamim Ilyas menyatakan dalam berbagai kesempatan bahwa memberi pinjaman kepada mustahiq diperbolehkan.
Untuk memahami logika fikih zakat kontemporer perlu mengkaji lebih dalam bagaimana manhaj tarjih Muhammadiyah menetapkan hukun-hukum zakat, baik penggalian dan pengelolaan sesuai dengan perkembangan zaman.
Kaidah ushul fikih menyatakan al hukmu yaduru ma’a illatihi wujudan wa adaman, bahwa hukum bisa berubah sesuai ada atau tidaknya alasan yang mengitarinya. Kita juga tidak bisa menafikan prinsip maslahah dalam semua aspek hukum syariah.
Ulama Tarjih Muhammadiyah, Prof. Syamsul Anwar memberikan pendekatan fikih zakat kontemporer yaitu nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah) dan prinsip-prinsip universal (al-ushul al-kulliyah).
Dua landasan ini penting dipahami agar zakat tetap menjadi teologi sosial yang memberdayakan.
Nilai-nilai dasar atau al-qiyam al-asasiyyah meliputi, pertama, al-qiyam al-‘aqidah atau nilai dasar teologi yang meliputi zakat, yaitu pertama, tauhid.
Nilai tauhid meniscayakan bahwa Allah pemilik sah segala yang ada di langit dan di bumi. Hal tersebut tercermin dalam banyak ayat di dalam al-Quran seperti Qs al-Baqarah: 284, Qs ali-Imran: 109 dan 129, dan lain-lain.
Kedua, manusia sebagai wakil Allah di dunia (al-istikhlaf), sebagai khalifah, manusia memiliki tanggungjawab memakmurkan semesta.
Ketiga, manusia pemilik nisbi harta kekayaan, karena pemilik haqiqi hanyalah Alloh, dan keempat, pengakuan kepemilikan individual dan harta berfungsi sosial.
Kedua, al-qiyam al-khuluqiyyah atau nilai dasar moral. Nilai dasar moral pada zakat yang pertama adalah keadilan.
Beliau menerangkan bahwa lazimnya dalam teori etika, keadilan itu masuk ke dalam ranah moral, bukan yuridis. Hal ini didukung oleh beberapa ayat dalam Qur’an seperti Qs an-Nisa: 58 dan 135, QS. Q.S Al-Maidah: 8 dan 42, QS. Al-An’am: 152, dan QS. Al-A’raf: 29-30 yang mengindikasikan bahwa keadilan itu bersifat etis, bukan yuridis.
Nilai dasar moral (al-qiyam al-khuluqiyyah) yang kedua setelah keadilan adalah nilai solidaritas. Dalam Qs al-Hujurat: 10 menegaskan bahwa orang-orang yang beriman itu bersaudara.
Rasulullah Saw juga menggambarkan bahwa umat Islam seperti sebuah bangunan yang wajib saling kuat-menguatkan satu sama lainnya (HR. Bukhari dan Muslim).
Menguatkan satu sama lain berarti saling membantu sesama muslim dan membela saudaranya muslim yang tertindas dan terzhalimi.
Dengan demikian, nilai solidaritas dalam Fikih Zakat Kontemporer meniscayakan kepekaan terhadap saudara-saudara muslim yang membutuhkan.
Ketiga, al-qiyam al-syariyyah atau nilai dasar yuridis dalam Fikih Zakat Kontemporer menurut Prof. Syamsul hanya satu, yaitu kemaslahatan. Baginya, nilai ini sudah begitu populer dalam hukum Islam. Bahkan kemaslahatan itu selain nilai dalam syariah, tapi juga tujuan dari syariah (maqashid syariah).
Sedangkan prinsip-prinsip universal (al-ushul al-kulliyah) yang bersumber dari nilai dasar teologis, moral, dan yuridis, di antaranya, pertama, harta tidak boleh terkonsentrasi pada seseorang.
Dalam artian harta harus terus mengalir tidak boleh hanya berputar pada poros kelas atas. Dari prinsip universal (al-ushul al-kulliyah) ini memiliki konsekuensi untuk tidak boleh ada penumpukan harta kekayaan.
Dalam Qs al-Hasyr: 7, Allah melarang aliran harta hanya beredar di antara segelintir orang kaya saja. Sementara dalam Qs Ali ‘Imran: 180 dan Qs At-Taubah: 34-35 Allah mengancam bagi siapa pun yang menimbun harta dengan ancaman api neraka.
Kedua, pada harta setiap orang terdapat hak orang lain. Prinsip universal (al-ushul al-kulliyah) kedua ini merupakan turunan dari nilai solidaritas.
Ketiga, wajib mengeluarkan sebagian harta berbentuk: zakat dan infak wajib.
Selanjutnya prinsip universal (al-ushul al-kulliyah) dalam Fikih Zakat Kontemporer yang keempat adalah pengeluaran zakat berlandaskan prinsip: Pertama, harta yang dikenai zakat harus harta kekayaan yang berkembang. Kedua, harta yang dikenai zakat adalah kelebihan dari kebutuhan.
Hal tersebut terkait dengan zakat profesi.
Berdasar pada nilai dasar dan prinsip-perinsip diatas, mekanisme qardul hasan dalam penyaluran dana zakat lebih maslahah, membangun tanggungjawab, menghilangkan ketergantungan pada pemberian.
Lazismu juga telah melaksanakan pemberdayaan pedagang dengan mekanisme ini dan dianggap sukses, bahkan ditiru oleh lembaga filantropi lain. Mereka belajar kesuksesan qardul hasan pada Lazismu Pusat.
Bahkan di Jawa Timur lahir lembaga program yang diberi nama Bankziska (bantuan keuangan berbasis zakat infaq shodaqoh dan sosial keagamaan) dengan sistem taggung renteng.
Pola pinjaman qardul hasan juga diterapkan pada para petani miskin yang membutuhkan modal, jika terjadi wanprestasi maka mereka dibebaskan dari hutang meskipun yang seperti ini tidak mendidik.
Mekanisme Qardul hasan tetap didasarkan pada al-qiyam Al-‘aqidah, karena semangatnya adalah menjalankan misi sebagai khalifatullah dil ardi memakmurkan bumi dengan mendistribusikan zakat sebagai gerakan teologi sosial dalam rangka menegakkan takqwa baik pada muzakki maupun mustahiq.
Kesadaran bahwa harta adalah milik Alloh harus dimiliki baik oleh muzzaki maupun mustahiq. Dengan qardul hasan, mustahiq tetap menerima manfaat dan sekaligus berbagi manfaat tersebut pada sesama mustahik dalam sekala yang lebih luas.
Nilai Dasar Moral (Al-qiyam Al-khuluqiyyah) dalam qardul hasan lebih terwujud karena keadilan dan solidaritas antar mustahik. Sistem tanggung renteng merupakan wujud nyata dari solidaritas antar mustahiq sekaligus membangun tanggungjawab bersama.
Secara Yuridis (Al-qiyam Al-syar’iyyah), mekanisme qardul hasan juga lebih maslahah karena memberi solusi pada mustahiq agar keluar dari problem hidupnya.
Kemaslahatan yang lebih luas dapat dirasakan karena disaat mustahiq menyelesaikan masalahnya, juga dengan mengembalikan pinjaman maka dana yang masuk akan dinikmati oleh mustahik lainnya.
Memberi pinjaman para mustahiq golongan fakir miskin untuk modal usaha tidak bisa dipahami sebagai menahan hak mustahiq karena justru menyelesaikan inti masalahnya.
Pedagang miskin yang terjerat hutang rentenir, pinjol, bank titil, biasanya penghasilannya belum mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga perlu berhutang pada kelompok ribawi.
Karenanya menyegerakan distribusi dengan mekanisme qardul hasan juga harus menjadi target para amil zakat.
Penyaluran dana zakat secara qardul hasan akan menyelesaikan pokok masalah dengan memutus mata rantai hutang, memberinya permodalan untuk menghasilkan laba maka problem inti ghorimin akan teratasi.
Dalam konteks ini maka logika qiyas aulawi yang ditawarkan Yusuf Qardawi bisa dipakai.
Penyegeraan penanganan ghorimin dengan qardul hasan juga bagian dari menyegerakan hak orang miskin untuk merdeka dari lilitan hutang, tentu mekanisme qardul hasan ini membutuhkan system yang baik supaya tidak melanggar nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah) dan prinsip-prinsip universal (al-ushul al-kulliyah).
Mekanisme qardul hasan tidak menghilangkan distribusi konsumtif dan kedaruratan. Pemberian langsung tetap dilaksanakan sesuai dengan kriteria fikih. Sehingga perlu melihat qardul hasan sebagai salah satu mekanisme pemberdayaan beriringan dengan program-program lainnya.
Mekanisme qardul hasan tetap tidak bertentangan dengan pemahaman syaikh Utsaimin karena memberikan pinjaman zakat kepada ashnaf, menyegerakan program penyaluran agar hak mustahik memperoleh manfaat segera terealisasi, lembaga-lembaga amil zakat juga tetap menjalankan amanahnya mengambil dan mengelola zakat secara transparan dan professional.
Pinjaman qardul hasan juga tidak menghilangkan hak mustahiq, namun malah memberdayakan dengan mengalirkan dan menumbuhkan dana zakat.
Ijtihad progresif semacam ini bahkan pernah dilakukan khalifah Umat bin Khattab dalam kasus lain. Umar tidak membagikan haarta rampasan perang berupa tanah.
Padahal, surat al-Anfal ayat 41 menyatakan bahwa seperlima harta rampasan perang untuk Allah, Rasul-Nya, kerabat Rasul (Bani Hasyim dan Bani Muṭṭalib), anak yatim, orang miskin, dan ibnusabil, yaitu orang yang sedang dalam perjalanan.
Adapun empat per lima dari ganimah itu dibagikan kepada mereka yang ikut bertempur.
Sikap tersebut tampak bertentangan dengan al Qur’an, namun Umar memandang lebih maslahah jika tanah dimiliki atau dikuasai negara tetapi hasilnya tetap diberikan kepada para tantara dan keluarganya.
Karena jika tanah taklukan dibagikan kepada para tantara maka generasi berikutnya tidak akan memiliki tanah. Umar memahami bahwa maksud al Quran secara umum adalah kemaslahatan. Begitu juga dengan qardul hasan dalam penyaluran dana zakat.
Bagaimanapun, qardul hasan dana zakat adalah ijtihad baru yang ternyata memberi kemaslahatan yang luas. Perbedaan ikhtilaf fikih tidak menjadi alasan mengendorkan semangat berzakat dan mengelolanya secara professional.
Semoga majelis tarjih dan tajdid PP Muhammadiyah segera menyelesaikan dan menerbitkan buku pedoman zakat Muhammadiyah yang sedang dikerjakan, agar menjadi panduan pengelolaan zakat kontemporer.
Editor Alfain Jalaluddin Ramadlan