tarjihjatim.pwmu.co – Nilai Etis dalam Hukum Memegang Al-Quran Tanpa Berwudlu oleh Agus Supriyadi, Lc, M.H.I (Anggota Divisi Kaderisasi dan Publikasi PWM Jawa Timur)
Al-Quran merupakan pedoman hidup setiap muslim. Membacanya adalah wajib, setara dengan memahami dan mengamalkannya. Oleh karena itu, sudah seharusnya membaca Al-Quran menjadi rutinitas harian seorang muslim. Di samping, banyak sekali manfaat ketika membaca Al-Quran.
Pada praktiknya, masyarakat masih sering menanyakan, di antaranya, apakah memegang Al-Quran wajib berwudlu terlebih dahulu ataukah tidak?
Sejatinya pertanyaan tersebut sudah muncul pada masa lampau, namun menjadi hangat kembali ketika pertanyaan-pertanyaan muncul kembali.
Dalam bingkai nalar pemikiran hukum Muhammadiyah, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dalam Buku Tanya Jawab Agama Jilid II halaman 35, menyebutkan bahwa akar dari perbedaan pandangan ini terletak pada interpretasi makna “al-Muṭahharūn” pada Surat Al-Wāqiah: 79. Allah berfirman:
لاَ يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan”
Lafadz Al-Muṭahharūn (orang-orang yang disucikan), maksudnya adalah para malaikat. Pendapat tersebut selaras dengan konteks ayat sebelumnya (siyāq al-kalām), yaitu ketika ayat 77-78 yang menginformasikan kepada kita bahwa sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang mulia, pada kitab yang terpelihara (lauḥ al-maḥfūẓ).
Jadi ayat di atas bukanlah larangan orang yang dalam kondisi tidak suci dari hadats untuk menyentuh Al-Quran yang berarti mewajibkan seseorang untuk berwudlu bagi yang akan menyentuh atau membacanya.
Seorang Muslim tidak Najis
Lebih lanjut, beberapa hadis shahih memberikan keterangan bahwa orang muslim itu suci dan tidak najis. Namun, Nabi tidak melarang sekaligus tidak menyukai, yang dalam istilah hukum disebut makruh membaca atau menyebut nama Allah tidak dalam keadaan suci.
و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ مِسْعَرٍ عَنْ وَاصِلٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقِيَهُ وَهُوَ جُنُبٌ فَحَادَ عَنْهُ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ كُنْتُ جُنُبًا قَالَ إِنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَنْجُسُ
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Abu Kuraib, keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Misʻar dari Wāshil dari Abu Wā’il dari Hudzaifah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemuinya, sedangkan dia dalam keadaan junub, maka dia menjauhkan diri, lalu mandi, kemudian dia mendatangi Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam, seraya berkata, “Saya tadi sedang junub.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ” Seorang muslim tidak najis.”
(Shahih Muslim, Hadis ke-372, Kitab Haid, Halaman 161).
Kendati demikian, Fatwa Tarjih tetap menganjurkan agar memegang dan membaca Al Quran dalam keadaan suci, berdasarkan etis dan kepatutan serta sebagai tanda memuliakan Kalamullah. Namun, Fatwa Tarjih juga memperbolehkan atau tidak melarang baca ayat Al-Qur’an bagi seseorang yang tengah berhadats, termasuk perempuan yang sedang haid.
Editor : Mohammad Ikhwanuddin