HPT, Mazhab yang Toleran dan Terbuka; Oleh M. Rifqi Rosyidi, Anggota Lajnah Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim; Mudir Pondok Modern Muhammadiyah Paciran, Lamongan.
PWMU.CO – Mazhab sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama adalah kumpulan hukum-hukum fikih yang diambil dari dalil-dalil al-Quran dan al-Sunnah melalui kegiatan ijtihad.
Himpunan Putusan Tarjih (HPT) yang diputuskan melalui kegiatan ijtihād jamā’ī sangat memenuhi kriteria untuk menjadi salah satu kitab rujukan utama bagi sebuah mazhab.
Perbedaan pendapat di kalangan ulama yang akhirnya melahirkan madzhab fiqih dan aliran kalam tidak hanya disebabkan oleh perbedaan dalil dan kualitas dalilnya saja, tetapi perbedaan metodologis dan cara pandang dalam memahami dalil juga akan menghasilkan produk hukum dan kesimpulan putusan yang berbeda. Apalagi kalau mencermati karakter lafadz bahasa Arab yang musytarak, di mana satu kata bisa memiliki banyak makna.
Dengan demikian perbedaan pendapat dalam masalah fiqhiyyah adalah wajar bahkan bisa menjadi wajib
sebagai wujud dari ajaran yang rahmatan lil alamin. Maka dari itu perbedaan di kalangan ulama khususnya pada tataran pelaksanaan ibadah praktis harus dipahami sebagai bentuk ikhtilaf tanawwu’ bukan ikhtilāf tadlād.
Ikhtilaf tanawwu’ adalah beragamnya pendapat ulama dalam satu masalah tetapi pendapat-pendapat yang berbeda itu semua bisa dilakukan dan tidak boleh dianggap salah karena masing-masing disandarkan pada dalil dan argumen yang benar, seperti bacaan doa iftitah, tata cara takbir shalat Id, waktu sujud sahwi, bacaan tasyahhud, bacaan salam, pelaksanaan shalat Khawf dan lain-lain.
Meskipun demikian tetap harus ditegaskan bahwa ajaran islam memberi ruang bagi seseorang untuk menganggap pendapatnya lebih rājih dari pendapat yang lain tetapi tidak dibenarkan untuk menyalahkan yang berbeda dengan pendapatnya. Boleh meyakini pendapatnya benar dan memedomaninya dalam praktik ibadah tetapi tidak dibenarkan menyalahkan yang berpendapat beda apalagi sampai memprovokasi orang lain untuk menolak.
Contoh konkret menyikapi ikhtilaf tanawwu’ ini adalah kejadian di Bani Quraidhah di mana para sahabat berbeda dalam memahami perintah nabi, sehingga ada yang shalat Ashar di jalan dan sebagian yang lain mengerjakan shalat Ashar ketika sampai di kampung Bani Quraidhah. Meskipun masing-masing mengklaim benar tetapi Rasulullah hanya menyikapinya dengan senyum sebagai bentuk pembenaran atas kedua sudut pandang yang berbeda dan tidak saling menyalahkan.
Sedangkan ikhtilaf tadlad adalah perbedaan dua pendapat yang saling bertentangan dan tidak bisa dikompromikan. Ikhtilaf tadlad ini bisa terjadi pada ranah akidah, ibadah dan juga di bidang muamalah. Perbedaan dengan kategori ikhtilaf tadlad inilah biasa yang menyebabkan terjadinya kegaduhan sosial bahkan menjadi sebab kebinasaan sebuah bangsa sebagaimana dinyatakan oleh nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah:
ذَرُوْنِي مَا تَرَكْتُكُمْ ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ ، فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوْهُ ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتَمْ
Artinya: “Biarkanlah apa yang aku tinggalkan kepada kalian. Sesungguhnya orang sebelum kalian telah binasa karena mereka banyak bertanya yang tidak diperlukan dan menyelisihi nabi-nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian maka lakukanlah sesuai dengan kesanggupan kalian. Dan bila aku melarang kalian dari sesuatu maka tinggalkanlah.”
Baca sambungan di halaman 2: Ikhtilaf Tanawwu’