Harta Bersama
Ketentuan harta bersama, dapat ditemukan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan harta bersama juga dapat ditemukan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Disadari atau tidak sebagian masyarakat belum mengetahui bahwa kedua peraturan tersebut merupakan hasil ijtihad para ulama Indonesia dalam bidang perkawinan dan kewarisan dalam Islam. Memang dalam wilayah fikih tidak terlepas dari perbedaan.
Tentu perbedaan itu memiliki dasar dan pertimbangan hukum. Terpenting di sini, perbedaan yang berdasar itu menjadi rahmat. Keluasan dan pilihan untuk berpijak sesuai keyakinan yang bernuansa dalil (syara). Perbedaan bukanlah menegasikan atau meniadakan peraturan tersebut. Terlebih menolak keberadaan harta bersama tanpa ilmu.
Dalam perspektif ekonomi Islam, perkawinan itu adalah akad antara suami dan istri. Keduanya saling berjanji dengan mitsaqan ghalidhan (pernjanjian yang sangat kuat), berakad untuk menjalankan bahtera rumah tangga.
Akad dalam perkawinan adalah akad syirkah. Suami dan istri ber-syirkah (bermitra atau bekerja sama) menjalankan bahtera rumah tangga. Dalam ber-syirkah suami istri berhak mendapatkan bagian keuntungan (bagi hasil atau nisbah). Keuntungan berupa bertambahnya nilai harta (aset) selama perkawinan sah yang mereka lakukan.
Bagi hasil keuntungan (nisbah) dalam akad syirkah bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, bagi hasil keuntungan berdasarkan penyertaan harta atau keahlian. Kedua, bagi hasil keuntungan berdasarkan kesepakatan.
Karena itu, jika ada kesepakatan keduanya (suami-istri) perihal keuntungan dari perkawinan berupa harta bersama. Mereka berdua bisa membagi harta bersamanya berdasarkan kesepakatan tersebut. Sebaliknya, jika tidak kesepakatan dari keduanya, maka bagi hasil keuntungan dari perkawinan di bagi berdasarkan prinsip bagi hasil. Keduanya mendapatnya separuh dari hasil keuntungan yang di dapat.
Ketentuan akad syirkah secara sederhana dapat dirujuk dari Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 114 Tahun 2017. Fatwa ini dirumuskan oleh lembaga otoritas di bawah naungan Majelis Ulama Indonesia. Proses fatwa ini dirumuskan berdasarkan ijtihad jamai (ijtihad yang dilakukan secara berjamaah).
Bahwa fatwa ini sudah dan sedang dipraktikkan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS), Lembaga Bisnis Syariah (LBS) dan Lembaga Perekonomian Syariah (LPS).
Dalam keluarga, sudah sepantasnya anggota keluarga, khususnya suami dan istri, memahami prinsip syariah terkait tentang akad syirkah. Jika terjadi keadaan seperti yang dipertanyakan, pembagian harta waris tanpa membagi dahulu harta bersamanya, tentu, tidak ada kata terlambat. Penyempurnaan pembagian warisnya menjadi penting.
Memang ini tidak mudah, tetapi harus dilakukan. Mengingat ada hak yang menjadi milik pasangan si mayit (suami atau istri yang masih hidup) yang harus diberikan.
Baca sambungan di halaman 3: Lima Langkah Solutif