Masifikasi Perkaderan di Tengah Generasi Stroberi; Oleh Dr Piet Hizbullah Khaidir SAg MA Ketua STIQSI Lamongan; Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Lamongan; Koordinator Divisi Kaderisasi dan Publikasi Majelis Tarjih dań Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur
Tarjihjatim.pwmu.co – Saya ingin mengawali pemaparan ini dengan identifikasi beberapa persoalan yang kini melanda kaum muda Indonesia.
Pertama, telah lahir kaum muda dengan fasilitas teknologi yang supercanggih. Dengan teknologi supercanggih berupa gadget ini, seharusnya lahir kaum muda dengan kecanggihan yang bahkan lebih dibandingkan gadgetnya.
Namun, nyatanya, ketergantungan terhadap gadget dalam segala aspek kehidupan melahirkan kaum muda yang orientasi hidupnya disetir oleh algoritma artificial intelligent yang tampak dari konten apa yang diaksesnya dari gadgetnya. Kondisi ini merupakan tantangan bagi pendidik, agamawan, orangtua, dan siapapun yang berinteraksi dengan kaum muda ini.
Kedua, akibat dari teknologi supercanggih ini, interaksi langsung antarorang menjadi jarang dan renggang. Utamanya kaum muda sebagai pengguna langsung dan mengalami dampak langsung dari akibat ini, membuatnya terkadang mengalami kecanggungan ketika harus menghadapi publik atau berinteraksi dengan orang luas. Lahirlah dari kalangan kaum muda ini apa yang disebut dengan strawberry generation (generasi stroberi).
Istilah strawberry generation pada mulanya muncul dari negara Taiwan. Istilah ini ditujukan pada sebagian generasi baru yang lunak seperti buah strawberry. Pemilihan buah strawberry untuk penyebutan generasi baru ini juga karena buah strawberry itu tampak indah dan eksotis, tetapi begitu dipijak atau ditekan ia akan mudah sekali hancur. Simbol yang menggambarkan karakteristik buah stroberi yang terlihat cantik dari luar, namun mudah hancur saat menghadapi tekanan eksternal.
Menurut Prof Rhenald Kasali dalam suatu kesempatan, strawberry generation adalah generasi yang penuh dengan gagasan kreatif tetapi mudah menyerah dan gampang sakit hati. Definisi ini dapat kita lihat melalui laman-laman sosial media mereka. Begitu banyak gagasan- gagasan kreatif yang dilahirkan oleh anak-anak muda, sekaligus pula juga tidak kalah banyak cuitan resah penggambaran suasana hati yang dirasakan oleh mereka.
Ini contohnya: “Gua anak umur 21, gak nyangka ternyata kuliah itu seburuk itu untuk mental health, semester 1 kemarin gua udah dihujanin materi sama tugas yang bener2 banyak, akibatnya waktu gua untuk healing sama self reward jadi kurang banget. Yang tadinya gua masih bisa nonton Netflix sama chat-chat-an dengan bestie sekarang jadi susah banget. Gua kayaknya belum siap kuliah deh. Gua udah ngomong ke ortu kalau gua mau cuti dulu semester ini. Gua mau fokus healing selama 6 bulan dulu. Tapi ortu gua malah ga setuju, bahkan gua dibilang manja. Gua bingung mau gimana takutnya kalau paksain ipk ku malah tambah anjlok. Gua juga susah komunikasikan ini ke ortu karena mereka ga aware sama mentalhealth kaya gua. Gua mesti gimana….??? (dan diakhiri dengan emot menangis)”.
Ketiga, hari-hari ini kita diperhadapkan pada orientasi keilmuan yang tidak jelas. Arah kelimuan kita terlalu duniawi. Padahal orientasi duniawi akan menambah persoalan, budaya cinta dunia, selfish, dan maunya mikir yang enak-enak. Orientasi keilmuan yang tidak jelas ini berakibat pada arah kebutuhan kelimuan untuk masa depan bangsa dan negara ini menjadi problem serius.
Keempat, problem akhlak dan adab. Gadget yang dipenuhi media sosial menjadikan tolok ukur perilaku meniru idola yang sering muncul di media sosial tersebut. Hal ini tentu dapat merusak budaya Indonesia, ditambah sistem pendidikan di negara kita tidak mengajarkan orientasi keilmuan yang abadi melainkan duniawi.
Baca sambungan d halaman 2: Masifikasi Perkaderan Model Apa?