• Home
  • Kajian Al-Quran
  • Kajian Hadits
  • Tanya Jawab
  • Akidah
  • Waris
  • HPT
  • Fatwa
  • Hisab dan Falak
Sabtu, Mei 17, 2025
  • Login
  • Home
  • Kajian Al-Quran
  • Kajian Hadits
  • Tanya Jawab
  • Akidah
  • Waris
  • HPT
  • Fatwa
  • Hisab dan Falak
No Result
View All Result
Tarjih Jawa Timur
Advertisement
ADVERTISEMENT
  • Home
  • Kajian Al-Quran
  • Kajian Hadits
  • Tanya Jawab
  • Akidah
  • Waris
  • HPT
  • Fatwa
  • Hisab dan Falak
No Result
View All Result
Tarjih Jawa Timur
No Result
View All Result
Home Kajian Al-Quran Kajian Reflektif Keislaman

Pengembangan Manhaj Tarjih Dalam Konteks  Masyarakat Indonesia yang Multikultur

Kamis 15 Mei 2025 | 20:38
15 min read
14
SHARES
49
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

tarjihjatim.pwmu– Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Oleh Moh. Nurhakim, M.Ag., Ph.D. (Dosen Universitas Muhammadiyah Malang / Tim Ahli Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur).

Pendahuluan

Bangsa Indonesia sekarang sedang menghadapi era globalisasi dan industrialisasi yang multikultur. Perubahan-perubahan nilai pun terjadi, seperti  perubahan dari nilai kehidupan monolitik ke pluralistik. Di satu pihak nilai menunjukkan kecenderungan pola hidup yang serba seragam, homogin sendiri-sendiri, dan tertutup. Sedangkan yang di pihak lain kecenderungan hidup yang heterogin, majemuk, bersama dan terbuka.

Perubahan ini  menuntut Muhammadiyah mampu mengimbanginya dengan produk-produk hukum serta pemikiran Islami. Untuk ini, satu hal terpenting adalah pengembangan metodologi (manhaj) tarjih. Meskipun sebagian para pakar hukum Islam di lingkungan Muhammadiyah banyak yang menolak pengembangan ini, tetapi sejumlah pakar ilmu-ilmu keislaman di Muhammadiyah berusaha keras mengajukan  pemikiran pengembangannya.

Inti dari konsep pengembangannya adalah, mereformulasi kaidah-kaidah ushul fikih, memperluas ruang lingkup atau objek kajian tarjih, mempergunakan ilmu-ilmu sosial yang relevan sebagai alat bantu analisis (Azhar, dkk. (ed), 2000). 

Selintas Manhaj Tarjih

Majelis Tarjih merupakan lembaga resmi di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah yang secara khusus menangani masalah-masalah hukum Islam seperti membahas dan mengeluarkan fatwa hukum atas suatu masalah. Majelis ini baru diadakan sejak 1927 ketika Muhammadiyah dipimpin oleh tokoh ulama asal Surabaya, K.H. Mas Mansur. Selah satu tujuan utamanya adalah memberikan pedoman kepada umat Islam dalam  hal keagamaan sehingga tidak terjadi perselisihan antarumar dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam.

Nama Tarjih dipakai karena metode utama dalam memecahkan masalah-masalah hukum Islam dengan cara men-tarjih. Yaitu, mengambil dalil yang paling kuat di antara dalil-dalil yang ada yang dipertentangkan untuk dijadikan pedoman pengamalan ajaran-ajaran Islam (Asjmuni Abdurrahman, 2002: 3-4).  Namun, pengertian semacam ini dari waktu ke waktu mengalami perkembangan hingga saat Majlis Tarjih diketuai oleh Prof. Dr. Amin Abdullah. Di saat yang terakhir ini (sejak Muktamar di Aceh), Majelis Tarjih dikembangkan namanya menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI). Tujuannya, pendekatan, metode, dan ruang lingkup tarjih yang sekarang dikembangkan lebih tepat dan lebih luas lagi sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Kalau sekarang kembali kepada Majelis Tarjih dan Tajdid.    

Melihat kerangka metodologis pemikiran keagamaan  Muhammadiyah sebagai dilembagakan dalam Tarjih ini, serta kenyataan  kenyataan cara berfikir warga Muhammadiyah sebagai tercermin dalam buku Soal Jawab Agama  serta Suara Muhammadiyah, Munir Mulkhan  memberikan komentar bahwa dari aspek corak pemikirannya, Muhammadiyah  dapat dikelompkkan dalam pemikiran Islam rasionalis. Dalam  menyelesaikan kasus-kasus serta penentuan stutus-status hukum ibadat, Muhammadiyah sangat menekankan pada teks agama. Di sini sebenarnya ada aspek ketidakkonsistenan Majelis Tarjih dengan pemikiran dasar KH. Ahad Dahlan  yang sangat menekankan akal dan logika  (Mulkhan, 1994: 16-17).

 Berikutnya Mulkhan menambhakan bahwa  obsesi Muhammadiyah untuk kembali  kepada teks agama secara langsung tanpa terikat  sedikitpun  kepada pemikiran ulama dan mazhab, serta tradisi-tradisi yang berkembang bahkan berintegrasi dengan Islam, maka satu segi membuat teks agama tetap otenstik, hal ini tidak salah. Tetapi di sisi lain – sebagai akibatnya – Muhammadiyah terkesan berfikir ahistoris, terlalu teologis, dan kurang mempertimbangkan kultur. Karenanya, bagi masyarakat yang masih memegangi nilai-nilai tardisi sulit menerima kehadiran Muhammadiyah. Kehadirannya dikesankan telah memisahkan  mereka dari keterikatan dengan tradisi lokal,  bahkan kosmologinya. Maka,  lebih jauh dapat dilihat bahwa seni, budaya, serta dimensi esoterisme tidak berkembang di kalangan  Muhammadiyah. Di sinilah orang banyak melihat Muhammadiyah kurang menggunakan pendekatan kultural (Mulkhan, 1995: 189-190).

Sementara itu, dalam beberapa tulisannya, Amin Abdullah melontarkan catatan untuk pemikiran di kalangan Muhammadiyah khususnya Majlis Tarjih. Sekaligus menyampaikan ide-ide pengembangan manhaj tarjih alternatif. Catatan Amin Abdullah untuk  pemikiran Islam  Muhammadiyah  bersifat aksiomatik-positivistik. Maksudnya pemikiran Muhammadiyah cenderung menilai  persoalan secara hitam-putih,  persoalan yang berkembang di masyarakat dilihat dengan kacamata “halal-haram”.  Sebagai akibatnya pemikiran di lingkungan Muhammadiyah mulai terlihat ada jarak yang terlalu jauh dari realitas yang berkembang  ( Azhar, 2000)..

Pendekatan Pengembangan Pemikiran Islam

Amin Abdullah menyusun kerangka metodologi pengembangan pemikiran Islam yang dianggap relevan untuk diterapkan dalam manhaj tarjih. Menurutnya, sejalan dengan epistemologi yang dikembangkan Muhammadiyah, pemikiran keislaman membutuhkan tiga pendekatan: bayani, ‘irfani dan burhani, sesuai dengan objek kajiannya – apakah teks, ilham atau realitas (Amin Abdullah, 2003: 1-10).

Pertama,  pendekatan bayani, yaitu pendekatan yang  bertujuan untuk memahami dan/atau menganalisis teks guna menemukan makna yang dikandung dalam, atau dikehendaki lafaz. Pendekatan ini juga untuk mengistinbathkan  hukum-hukum dari teks-teks agama dan al-Qur’an khususnya. Pendekatan ini menggunakan alat bantu berupa ilmu-ilmu kebahasaan dan uslub-uslubnya serta asbab nuzul, dan istinbath atau istidlal sebagai metodenya. Sudah lama pendekatan ini dipergunakan oleh para fuqaha’, mutakallimun dan ushuliyyun; di mana peran akal di dalamnya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpertasi.

Kedua, pendekatan ‘irfani, yaitu pendekatan yang bertujuan untuk menyingkap wacana Qur’ani dan memperluas ‘ibrahnya guna memperkaya makna.  Pendekatan ini  dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh  para mutashawwifun  dan ‘arifun untuk mengeluarkan  makna batin dari batin lafaz dan ibrah; ia juga merupakan istinbath  pengetahuan  qalb dari al-Qur’an. Instrumen analisis yang dipergunakan adalah pengalaman batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah dan ilham. Sedangkan metode yang dipergunakan meliputi manhaj kasyfi dan iktisyafi. Metode pertama  menggunakan  teknik riyadlah dan mujahadah, bukan indera atau akal dan mitos sekalipun, sedangkan metode kedua menggunakan teknik analogi (mumathilah) dalam menyingkap dan menemukan rahasia pengetahuan. Adapun sumber pengetahuan dalam ‘irfani mencakup ilham dan teks yang dicari maknanya melalui ta’wil. Salah satu manfaat pendekatan ini,  menghampiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya  pengalaman keagamaan orang lain yang berbeda ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama.

Ketiga, pendekatan burhani, yaitu pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika, dan metode diskursif.  Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian. Maksudnya, baik realitas alam, realitas sejarah, realitas sosial, maupun realitas  budaya. Teks dan realitas saling pengaruh mempengaruhi yang lain. Teks tidak berdiri sendiri, ia terikat dengan konteks yang mengelilingi dan yang melatarbelakanginya. Alat bantu analisis menggunakan dua disiplin ilmu yang terpenting: ilmu al-lisan dan logika (mantiq).  Sementara itu,  untuk memahami realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial-keislaman, menjadi lebih memadai apabila dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi, antropologi, kebudayaan dan sejarah.

Perbandingan Pendekatan Bayani, ‘Irfani dan Burhani

Pende KatanSumberInstrumenMetodologiKata KunciPeran AkalIlmuan
BayaniTeks/NashLughawi yahIstinbat/ IstidlalAsl – Far’ Lafz – Ma’na Khabar– Qiyas Otoritas salafJustifikasiFuqaha’, Ushuliyyun, Mutakalli Mun
IrfaniIlham/Intuisi dan TeksDirct Ezperience/Psiko Gnostik, DhauqiKashf/ Iluminasi. dan IktishafZahir – Bathin Tanzil– Ta’wil Haqiqi- Majazi MumathilahPartisipatif- IntersubjektifMutashawwifun, ‘Arifun
BurhaniRealitas, TeksLogika/Mantiq: -Dedukasi -Induksi -Abduksi -Simbolik -Prosesdll.Batiniyah/ DiskursifKully- Juz’iy Jauhar- ‘Ardh Al-Ma’qulat- Al-AlfazHeiristik/ Meneliti terusFailasuf, ‘Ulama’ al-Ulum al-Ijtima’iyyah wa al-Ijtima’iyyah

Demikian tiga pendekatan yang, menurut Amin Abdullah, dapat diterapkan dalam pengembangan manhaj tarjih. Ide ini telah menjadi ketetapan Munas Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam XXIV di Malang. (Amin Abdullah, 2002).

Operasionalisasi Pendekatan ke dalam Manhaj Tarjih

Setelah Amin Abdullah memaparkan ketiga pendekatan di atas, selanjutnya ia mengusulkan langkah-langkah lebih operasional untuk penerapannya dalam manhaj tarjih yang berlaku. Sebelumnya, ia  mengajukan wilayah atau ruang lingkup permasalahan-permasalahan kontemporer yang memerlukan pembahasan secara serius di Muhammadiyah adalah sosial-keagamaan, sosial keislaman, sosial budaya, sosial politik, sosial ekonomi, Islam dan budaya lokal, sains dan teknologi, lingkungan hidup, etika dan rekayasa genetika dan bioteknologi, serta isu-isu yang berkaitan dengan  masalah keadilan dalam HAM, demokrasi, hubungan pria dan wanita dalam Islam, civil society, agama, agama dan kekerasan sosial, spiritualitas keagamaan, penguatan kesadaran moralitas publik, pemecahan KKN, dialog dan hubungan antaragama, integrasi dan integrasi sosial-keagamaan, kepekaan pluralisme keagamaan dalam bidang pendidikan dan pengajaran, dan lain-lain (Amin Abdullah, Makalah Seminar, 2002: 13-14).

Bagi Amin Abdullah, dalam penerapan ketiga pendekatan ini ke dalam manhaj tarjih yang baru dapat dilakukan melalui tiga model hubungan yang ia sebut model  hubungan pararel, model hubungan linier, dan model hubungan spiral.

Pertama, model hubungan pararel, yaitu  masing-masing dari ketiga pendekatan berjalan sendiri-sendiri, tanpa ada hubungan antara satu pendekatan dengan  pendekatan yang lain.  Model ini mengasumsikan bahwa  dari seseorang  Muslim terdapat tiga jenis metodologi keilmuan keislaman sekaligus, tetapi masing-masing metodologi berdiri sendiri dan tidak saling berdialog dan berkomunikasi; tergantung pada situasi dan kondisi. Jika ia berada pada posisi wilayah bayani, ia gunakan pendekatan bayani sepenuhnya, dan tidak berani memberi masukan dari hasil temuan dari pendekatan metodologi keilmuan keislaman yang lain.  Adapun manfaat praktis dan kegunaan pengembangan keilmuan melalui model ini akan sangat minim, tetapi akan lebih baik daripada manfaat jika menerapkan  salah satu pendekatan saja.

Kedua, model hubungan linier, yaitu memilih salah satu dari ketiga pendekatan  yang dijadikan primadona dengan mengabaikan pendekatan-pendekatan yang lain yang mungkin memengaruhi atau bermanfaat baginya.  Seseorang yang menggunakan pendekatan ini menganggap bahwa pendekatannya adalah paling ideal dan bersifat final. Pendekatan kedua ini akan mengantarkan penggunanya  pada jalan buntu karena penolakan atas yang lain.

Ketiga, model hubungan spiral, yaitu hubungan yang baik dan ideal antara ketiga pendekatan, ketiganya saling bekerjasama; saling melihat masing-masing kelemahan diri  dan kelebihan yang lain; kemudian  bersedia memperbaiki diri. Pendekatan ketiga ini tidak pernah mengakui adanya  finalitas dan ekslusifitas, namun upaya untuk mengembangkan  pendekatan dengan memanfaatkan yang lain selalu diupayakan oleh masing-masing pengguna suatu pendekatan tersebut. Oleh karena itu, hasil dan manfaatnya adalah sangat besar, sehingga kekakuan, kekeliruan, dan ketidaktepatan yang dimiliki  oleh masing-masing pendekatan dapat dikurangi dan diperbaiki.

Dari  paparan di atas dapatlah disimpulkan bahwa, menurut Amin Abdullah,  dari ketiga model hubungan antarpendekatan  tersebut, maka  model hubungan spiral yang  paling ideal dan tepat untuk diterapkan dalam pengembangan manhaj tarjih. Sedangkan model pararel maupun linier keduanya bukan merupakan pilihan yang baik untuk memberikan pedoman praktis umat islam di era kontemporer. Pendekatan pararel tidak mampu membuka wawasan dan gagasan-gagasan baru. Masing-masing  pendekatan stagnan, terhenti dan bertahan pada posisi masing-masing, sehingga bisa jadi akhirnya akan menimbulkan apa yang disebut dengan “truth claim” (klaim kebenaran atau monopoli kenaran). Sedangkan pendekatan linier akan menjebak seseorang atau kelompok pada situasi-situasi eksklusif-polemis (Amin Abdullah, Makalah Seminar, 2002: 14-15).

Analisis Pengembangan Manhaj Tarjih

Catatan kritis Amin Abdullah terhadap pemikiran Islam di kalangan Muhammadiyah,  lebih khusus pemikiran yang terlembagakan dalam Majlis Tarjih, terfokus pada aspek metodologi atau yang biasa dikenal dengan Manhaj Tarjih. Hal ini bukan suatu pilihan yang salah, tetapi ia terkesan  mengesampingkan sisi-sisi lain seperti menejemen organisasi atau strukturnya. Padahal, untuk membuat Majelis Tarjih responsip terhadap persoalan-persoalan kontemporer, maka  aspek selain metodologi juga tak kalah penting.

Berbeda dengan  pakar hukum Islam  seperti Asmuni Abdurrahman dan Azhar Basyir yang  lebih banyak melakukan evaluasi putusan-putusan tarjih berdasarkan kerangka Ushul Fikih, Amin Abdullah hampir tak pernah menyentuh sisi-sisi teknis Ushul Fikih, tetapi ia mengedepankan perlunya Muhammadiyah mempertimbangkan metode hermeneutik, fenomenologi dan atau ilmu-ilmu sosial untuk diterapkan. Sebagai implikasinya, sebagian banyak pakar hukum Islam yang terlibat dalam ketarjihan menganggapnya sekedar berwacana, belum menyentuh “jantung” manhaj tarjih.

Lontaran ide dan konsep Amin Abdullah tentang pengembangan pemikiran Islam di lingkungan Muhammadiyah  melalui  tiga pendekatan: bayani, ‘irfani dan burhani diadaptasikan dari ide Muhammad ‘Abid al-Jabiri, seorang pemikir  Islam kontemporer dari Maroko. Bukan merupakan gagasan genuine Amin. Hal semacam ini  adalah biasa, tetapi pada batas-batas tertentu sekalipun, Amin tak banyak melakukan kritik terhadap Al-Jabiri di satu sisi, dan kurang memperhatikan konformitasnya terhadap paradigma Islam (baca ”Lima Masalah”)  yang telah lama dipedomani di Muhammadiyah. Memang, Amin Abdullah berupaya mendasarkan idenya pada historisitas pemikiran Muhammadiyah yang dibangun oleh KH. Ahmad Dahlan yang ia sebut bercorak “ensklusif”, tetapi  hal itu sebatas sisi apa yang ia sebut dinamisasi, bukan sisi purifikasi sebagaimana itu dirumuskan pada “Lima Masalah” yang menjadi paradigma Muhammadiyah.

Di sini terkesan Amin Abdullah ingin memasukkan unsur baru  yang terlepas dari tradisi, dengan dalih hal serupa telah ada di masa lampau yang absah. Ini merupakan problem umum gaya berfikir para pemikir kontemporer. Dalam hal ini dapat diambil suatu contoh. Dalam batas-batas tertentu yang lebih sederhana, sebetulnya Muhammadiyah telah menggunakan prinsip-prinsip dan pendekatan yang ditawarkan oleh Amin Abdullah. Pendekatan bayani yang mengutamakan teks misalnya,  selama ini dipakai. Demikian pula pendekatan burhani — yang menggabungkan antara teks dan realitas — diterapkan, dengan banyak mengesampingkan sisi rasionalitas untuk memahami teks yang bersandar pada masalah-masalah yang tak berubah seperti akidah dan ibadah.

Hanya saja, dalam hal pendekatan burhani, Amin Amin Abdullah menekankan aspek ilmu-ilmu sosial dengan berbagai metodenya untuk diterapkan dalam manhaj tarjih. Inilah sesuatu yang patut diapresiasi dan merupakan sesuatu yang baru. Meskipun, ide ini tetap dipandang sebagai sesuatu yang belum jelas dan aplikabel karena ia tidak memberikan perincian serta langkah-langkah teknis metodologinya. Amin Abdullah, seperti  dapat kita lihat dalam berbagai tulisannya, baru sebatas melontarkan ide dasar, dan belum memberikan contoh praktis bagaimana pendekatan dan metode dimaksud diterapkan. 

Tetapi, barangkali ide Amin Abdullah tersebut baru dapat dilihat contoh operasionalnya, meskipun tak sesempurna dengan konsepsinya,  pada buku Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama terbitan MTPP. PP. Muhammadiyah (2000) sebagai produk Majlis Tarjih yang pernah ia pimpin. Buku ini banyak memperoleh protes dari kalangan masyarakat dan tokoh Muhammadiyah, dan sebagian meminta buku ini tidak diedarkan. Tampaknya ide-ide dan konsep-konsep penerapan pendekatan yang ia maksud banyak teradaptasi dalam buku tersebut.         

 Mengenahi pendekatan ‘irfani yang ia usulkan, adalah sesuatu yang sangat kontroversial karena  pendekatan ini dipahami orang identik dengan pendekatan tasawuf atau mistik dalam Islam yang selama ini tidak populer di kalangan Muahmmadiyah. Meskipun sering kali dalam berbagai kesempatan ilmiah, Amin Abdullah telah menjelaskan bahwa pendekatan ini tidak harus dipersamakan dengan tasawuf. Ia menegaskan bahwa pendekatan irfani tidak menerima pemikiran mitologi, bukanlah klenik, bukan tarekat yang menenggelamkan manusia dalam keasyikan spiritual sebagaimana pernah terjadi dalam sejarah umat Islam. Tetapi, ia menekankan perlu diadaptasi pendekatan ini agar Muhammadiyah dapat mempertimbangkan aspek-aspek budaya yang berkembang di masyarakat, dan membuka diri dengan hadirnya spiritualitas yang menjadi pengalaman orang lain, dengan tujuan akhir warga Muhammadiyah mampu memahami kecenderungan pluralitas budaya dan agama.   

Sekarang, bagaimana posisi ide-ide dan konsep-konsep Amin Abdullah secara umum dalam hal pengembangan manhaj tarjih ini di mata tokoh Muhammadiyah yang lain. Apakah  diterima atau ditolak. Mengapa diterima, atau mengapa ditolak. Lantas bagaiama  semestinya merespon ide dimaksud.

Sudah barang tentu setiap muncul ide-ide pembaharuan pasti mendatangkan pro-kontra sebagai responnya. Tak terkecuali, pemikiran Amin Abdullah ditentang oleh banyak kalangan khususnya para ulama dan muballigh  Muhammadiyah. Dalam berbagai pertemuan yang sempat diikuti oleh peneliti, ide mengadopsi pendekatan irfani ditolak mentah-mentah bagi sebagaian banyak ulama, tetapi bagi sebagaian diterima asal  bukan dimaksudkan untuk membuat “bid’ah” dalam arti melegalkan tarekat.

Menurut pendapat peneliti,  ide semacam itu tidak perlu terlalu dipermasalahkan, tetapi perlu mendapatkan klarifikasi dan evaluasi secara kritis, sehingga dapat diambil hal-hal yang memang diperlukan dan dibuang hal-hal yang tidak diperlukan,  dengan parameter paradigma Islam yang dianut Muhammadiyah di satu sisi, dan relevansinya dengan tuntutan era multikultural di sisi lain.  Sebagai contoh, jika maksud dan penekanan pendekatan irfani adalah agar umat Islam lebih memungkinkan untuk lebih terbuka, maka  pendekatan ini dapat diterapkan; sebagaimana  pendekatan burhani (yang dimaknai pendekatan rasional dan ilmiah) dapat membuka berbagai misteri atau permasalahan kontemporer yang belum dapat dipecahkan, mengapa tidak diadaptasikan ke dalam manhaj tarjih.

Secara umum dapat peneliti katakan, bahwa sebagian besar ide-ide  Amin Abdullah  bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, dan sebagaian banyak juga telah diterapkan – dalam batas-batas tertentu — di kalangan tokoh tarjih di Muhammadiyah. Namun, hal yang dianggap baru adalah ide tentang pendekatan hermeneutik dan fenomenologi  sebagai metode rekonstruksi pemikiran Islam dengan pendekatan: bayani, irfani dan burhani – seperti yang ia maksudkan – maka, itulah yang hemat penulis perlu diapresiasi dan kembangkan secara kritis.       

Kesimpulan

Muhammadiyah sebagai gerakan Tajdid dituntut merumuskan dan menyempurnakan kembali metodologi atau manhaj tarjihuntuk melaksanakan  pemurnian, pembaharuan dan pengembangan pemikiran Islam. Tuntutan semacam ini mendesak dilakukan, karena pada priinsipnya Muhammadiyah tidak mungkin akan menghindari kecenderungan masyarakat yang kini telah hidup di tengah-tengah era multikultural.

Menurut kritik Amin Abdullah, bahwa pemikiran Muhammadiyah, khusunya yang terlembagakan ke dalam Majlis Tarjih  kini mengalami problem pensakralan pemikiran (taqdis al-afkar) sebagaimana kecenderungan pemikiran Islam di luar Muhammadiyah.  Baginya, metodologi atau manhaj tarjih yang digunakan selama ini dalam prakteknya terkesan lebih cenderung pada pemurnian aqidah dan ibadah,  serta pengembangan pemikiran keislaman secara reaktif sehingga kurang memadai digunakan untuk pengembangan pemikiran secara kritis, kreatif dan proaktif sesuai tuntutan masyarakat baru yang multikultural. Selanjutnya ia melontarkan kritik bahwa pemikiran di lingkngan tarjih cenderung mempertahankan model klasik yang bercorak Aristotalian sehingga mengakibatkan  sikap masyarakat Islam yang hitam-putih, kaku dan berjarak dengan perkembangan baru lingkungannya.

Berdasarkan kritik di atas, Amin Abdullah melontarkan alternatif ide dan konsep pengembangan Manhaj Tarjih sebagaimana kemudian dilembagakan dalam nama Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI). Intinya adalah reorientasi konsep purifikasi, dan rekonstruksi konsep dinamisasi  pemikiran Islam Muhammadiyah. Dalam wilayah pertama (purifikasi) perlu redefinisi konsep bid’ah, dan menegaskan mana wilayah akidah dan mana wilayah budaya. Di samping itu, perlu pengembangan orientasi wilayah yang pertama ini ke dalam apa yang ia sebut social estitic, selain wilayah metafisik seperti akidah. Sementara dalam wilayah kedua (dinamisasi) perlu dilakukan apa yang ia rekonstruksi sekaligus  reinterperitasi sehingga terjadi perubahan pemikiran dari jadali (hitam-putih) ke logika empirik; dari minus ilmu-ilmu sosial dan historis kepada pemikiran yang historis dengan meminjam  pendekatan ilmu-ilmu sosial kontemporer sebagai alat analisis.

Untuk itu, lebih konkrit Amin Abdullah mengusulkan tiga pendekatan pengembangan pemikiran Islam di lingkungan Muhammadiyah. Yaitu, pendekatan bayani, pendekatan ‘irfani, dan pendekatan burhani. Ketiga pendekatan tersebut dapat diterapkan dalam manhaj tarjih melalui tiga model hubungan: pararel, linier dan spiral. Namun, model hubungan yang paling tepat dan ideal, menurutnya, adalah model spiral di mana antar ketiga pendekatan saling bekerjasama dan menganalisis persoalan kontemporer secara interdisipliner.

Berdasarkan kajian kritis di atas, pemikiran Amin Abdullah tentang pengembangan manhaj tarjih di Muhammadiyah,  dapatlah dinilai dan diposisikan pada  hal-hal sebagai berikut.

Pertama, lontaran kritik dan ide-ide serta konsep-konsep pengembangan pemikiran Islam Muhammadiyah  dari Amin Abdullah  menimbulkan sikap pro-kontra di kalangan tokoh Muhammadiyah. Seperti biasa, sebagian mereka  menerima dan sebagian  lain menolaknya. Penolakan tersebut disebabkan oleh beberapa hal, antara lain kekurangpahaman secara mendalam terhadap ide-ide Amin Abdullah karena kebanyakan mereka berada di luar basis ilmu sebagaimana yang dikuasahi Amin Abdullah. Sebab yang lain, ada kekhawatiran di antara mereka dengan ide-ide yang dianggap belum matang tersebut  akan membuat warga Muhammadiyah kehilangan pijakan yang pasti alias bingung. Sebagian mereka  melihat beberapa poin pemikiran Amin Abdullah keluar dari paradigma Islam yang telah dibangun oleh Muhammadiyah, sehingga hal ini akan memberikan kesan umum bahwa Muhammadiyah tidak konsisten dengan pandangan-pandangan keagamaan yang selama ini dikenal.

Kedua, sebenarnya pemikiran tersebut marupakan alternatif yang  diperlukan oleh umat Islam dan bangsa Indonesia, khususnya, dalam hal ini masyarakat Muhammadiyah, yang sedang menghadapi problem sosial akibat multikultural.  Penerapan  pendekatan burhani dengan meminjam beberapa alat bantu ilmu-ilmu sosial kontemporer dapat diteruskan, dan  secara umum tak bertentangan dengan paradigma Islam sebagaimana dipahami Muhammadiyah. Dalam batas-batas tertentu, pendekatan ‘irfani dapat diterapkan asalkan tidak dalam pengertian tasawuf dan tarekat yang jelas-jelas keluar dari paradigma Islam sebagaiman digunakan Muhammadiyah. Sedangkan, pola hubungan spiral antarpendekatan dapat dipakai dengan syarat penerapannya membutuhkan proses yang relatif memakan waktu sangat lama karena memerlukan sumber daya manusia yang cukup untuk itu..    

Ketiga, bila kita telaah lebih jauh sebetulnya pemikiran Amin Abdullah di atas  tidaklah murni pikirannya sendiri, tetapi ia adaptasikan dari pemikiran Muhammad Abid al-Jabiri. Hal ini dapat dibuktikan melalui catatan-catatan atau kutipan-kutipan dalam berbagai tulisannya yang diambil dari tokoh pemikir Islam kontemporer dari Maroko tersebut. Sisi keterbatasan yang lain adalah pada tataran operasionalisasi ide dan konsep, di mana hampir tak diketemukan oleh peneliti.

Upaya Amin Abdullah mengelaborasi secara cukup sehingga memberi kejelasan para ahli hukum Islam di lingkungan Muhammadiyah dalam penerapannya. Di samping itu, Amin Abdullah tidak sempat melakukan reformulasi aspek kaidah-kaidah ushul yang menjadi dasar utama ijtihad di lingkungan Muhammadiyah selama ini.  Sebagai rekomdasi, secara umum dapat peneliti katakan, bahwa sebagian besar ide-ide  Amin Abdullah  bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, dan sebagaian banyak juga telah diterapkan – dalam batas-batas tertentu — di kalangan tokoh tarjih di Muhammadiyah. Namun, hal yang dianggap baru adalah ide tentang pendekatan hermeneutik dan fenomenologi  sebagai metode rekonstruksi pemikiran Islam dengan pendekatan: bayani, irfani dan burhani – seperti yang ia maksudkan – maka, itulah yang hemat penulis perlu dikritisi.

Daftar Pustaka

Abbas, Afifi Fauzi, ed., Tarjih Muhammadiyah dalam Sorotan, IKIP Muhammadiyah Jakarta Press, Jakarta, 1995.

Abdurrahman, Asjmuni, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Metodologi dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.

Azhar, Muhammad dan Hamim Ilyas, Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah Purifikasi dan Dinamisasi, LPPI UMY, 2000.

Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos, Jakarta, 1995.

Mulkhan, Abdul  Munir, Teologi dan Fikih dalam Tarjih Muhammadiyah, Sipress, Yogyakarta, 1994.

———–, Jawaban Kyai Muhammadiyah Mengurai Jawaban Pak AR dan 274 Permasalahan dalam Islam, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002.

Majlis Tarjih PP. Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta, tt.

Majlis Tarjih PP. Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama, Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, 1997. Nasution, Harun dkk., ed., Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antar-Disiplin Ilmu, Pusjarlit dan Nuansa, Jakarta, 1998.

Editor Saiful Ibnu Hamzah

Share6Tweet4Send

Related Posts

Rencana Allah Lebih Baik

Kehendak Allah Lebih Baik

by Saiful Ibnu Hamzah
Rabu 23 April 2025 | 08:06
367

tarjihjatim.pwmu.-Manusia mempunyai kehendak, tetapi tidak berdiri sendiri; kehendak manusia itu berada dalam kehendak Allah. Disarikan...

Khutbah Idul Fitri 1446 H

Khutbah Idul Fitri 1446 H

by Saiful Ibnu Hamzah
Senin 31 Maret 2025 | 01:00
127

Ketaqwaan dan Kesalehan Sosial Nilai dan Implikasi Ketaqwaan dalam Membentuk Kesalehan Sosial Tarjihjatim.pwmu.co -  Oleh...

Tawhid Tiga Lapis Dhamir

Tawhid Tiga Lapis Dhamir

by Piet Hizbullah Khaidir
Kamis 13 Februari 2025 | 06:37
190

Oleh Dr. Piet Hizbullah Khaidir, S.Ag., MA. Ketua Sekolah Tinggi Ilmu al-Qur’an dan Sains al-Ishlah...

Tanya Jawab Waris Islam: Pembagian Waris Bagi Anak Adopsi dari Orang Tua yang Sudah Meninggal

Tanya Jawab Waris Islam: Pembagian Waris Bagi Anak Adopsi dari Orang Tua yang Sudah Meninggal

by Dian Berkah
Jumat 7 Februari 2025 | 11:11
37

Oleh: Dr Dian Berkah SHI MHI (Dosen UM Surabaya, Sekretaris MTT PWM Jatim dan Founder...

Peserta Didik Versus Murid

Peserta Didik Versus Murid

by Piet Hizbullah Khaidir
Kamis 6 Februari 2025 | 00:48
449

Refleksi Konseptual atas Perubahan PPDB Menjadi SPMB Oleh Dr. Piet Hizbullah Khaidir, S.Ag., MA. Ketua...

Pendidikan Karakter dan Gerakan Anti Bullying

by Piet Hizbullah Khaidir
Rabu 29 Januari 2025 | 11:45
293

(Refleksi Peringatan Israk dan Mikraj Nabi Muhammad Saw) Oleh Piet Hizbullah KhaidirKetua Sekolah Tinggi Ilmu...

Populer Hari Ini

  • Pengembangan Manhaj Tarjih Dalam Konteks  Masyarakat Indonesia yang Multikultur

    14 shares
    Share 6 Tweet 4
  • Hukum Selamatan Orang Meninggal Dijadikan Satu dengan Aqiqah

    1045 shares
    Share 418 Tweet 261
  • Doa setelah Makan yang Populer Ini Ternyata Haditsnya Dhaif

    312 shares
    Share 125 Tweet 78
  • Larangan Potong Kuku dan Rambut, untuk Hewan Kurban atau Orang yang Berkurban?

    31 shares
    Share 12 Tweet 8
  • Urunan Kurban Sapi secara Arisan

    113 shares
    Share 45 Tweet 28

Recent News

Pengembangan Manhaj Tarjih Dalam Konteks  Masyarakat Indonesia yang Multikultur

Kamis 15 Mei 2025 | 20:38
49
Rencana Allah Lebih Baik

Kehendak Allah Lebih Baik

Rabu 23 April 2025 | 08:06
367
Khutbah Idul Fitri 1446 H

Khutbah Idul Fitri 1446 H

Senin 31 Maret 2025 | 01:00
127
Tawhid Tiga Lapis Dhamir

Tawhid Tiga Lapis Dhamir

Kamis 13 Februari 2025 | 06:37
190
  • Trending
  • Comments
  • Latest
Mau Usaha Kerudung tapi Pinjam Uang Berbunga ke Koperasi, Bolehkah?

Kirim Pahala untuk Orang Meninggal, Bisa Sampai?

Jumat 18 Agustus 2023 | 23:07
idul adha

Idul Adha 1445H di Indonesia, Mengapa Berbeda dengan Arab Saudi?

Minggu 9 Juni 2024 | 15:20

Manhaj Muhammadiyah Manhaj Salaf

Rabu 6 September 2023 | 21:30
Hukum Musik dan Nyanyian

Hukum Musik dan Nyanyian

Jumat 17 Mei 2024 | 09:14
Amalan agar Dimudahkan Jodoh

Amalan agar Dimudahkan Jodoh

Mau Usaha Kerudung tapi Pinjam Uang Berbunga ke Koperasi, Bolehkah?

Mau Usaha Kerudung tapi Pinjam Uang Berbunga ke Koperasi, Bolehkah?

Mau Usaha Kerudung tapi Pinjam Uang Berbunga ke Koperasi, Bolehkah?

Orang Tua Berkata-kata Tidak Baik

Mau Usaha Kerudung tapi Pinjam Uang Berbunga ke Koperasi, Bolehkah?

Menghadapi Gendam Penipuan

Pengembangan Manhaj Tarjih Dalam Konteks  Masyarakat Indonesia yang Multikultur

Kamis 15 Mei 2025 | 20:38
Rencana Allah Lebih Baik

Kehendak Allah Lebih Baik

Rabu 23 April 2025 | 08:06
Khutbah Idul Fitri 1446 H

Khutbah Idul Fitri 1446 H

Senin 31 Maret 2025 | 01:00
Tawhid Tiga Lapis Dhamir

Tawhid Tiga Lapis Dhamir

Kamis 13 Februari 2025 | 06:37

Hubungi Kami

Tarjih Jawa Timur

Tarjih Jawa Timur

Whatsapp : 0858-5961-4001
Email : pwmujatim@gmail.com

© 2023 Pimpinan Wilayah Jawa Timur

No Result
View All Result
  • Home
  • Kajian Al-Quran
  • Kajian Hadits
  • Tanya Jawab
  • Akidah
  • Waris
  • HPT
  • Fatwa
  • Hisab dan Falak

© 2023 Pimpinan Wilayah Jawa Timur

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In