Larangan Potong Kuku dan Rambut, untuk Hewan Kurban atau orang yang Berkurban? Ditulis oleh Dr Zainuddin MZ Lc MA, Ketua Lajnah Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.Direktur Turats Nabawi Pusat Studi Hadits, Sidoarjo.
Tarjihjatim.pwmu.co – Assalamualaikum Wr Wb. Ustadz, beberapa waktu lalu muncul edaran dari teman-teman salafi. Terkait dengan potong kuku dan rambut saat menjelang penyembelihan kurban di hari raya Idul Adha.
Yakni jika telah memasuki bulan Dzulhijah dan salah seorang berkeinginan untuk menyembelih ternak kurban, maka muncul nasihat untuk tidak potong kuku dan mencukur rambutnya.
Pertanyaannya, apakah yang dimaksudkan kuku dan rambut orang yang ingin menyembelih ternak kurban atau kuku dan rambut (bulu) binatang yang hendak disembelihnya? Mohon penecarahannya.
Hamba Allah, Surabaya
Dasar Hukum Syariatnya
Argumentasi larangan “potong kuku dan mencukur rambut” terkait datangnya Idul Adha adalah hadits yang diriwayatkan Umu Salamah RA
وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إذا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ حَتَّى يُضَحِّيَ
Dinarasikan Umu Salamah RA, Rasulullah SAW bersabda: Jika Kalian telah menyaksikan hilal Dzulhijah (masuknya tanggal satu bulan Dzulhjah), dan seorang di antara kalian hendak menyembelih ternak kurban) (maka janganlah ia mengambil (mencukur) rambut dan memotong kukunya sedikitpun, sehingga ia telah menyembeihnya). (HR Muslim: 1977; Abu Dawud: 2791; Tirmidzi: 1523; dan Nasai: 4361).
Sejauh yang penulis ketahui, larangan potong kuku dan mencukur rambut terkait dengan penyembelihan kurban hanya diriwayatkan Umu Salamah. Hadits tersebut tidak disangsikan shahihnya, bahkan ada dalam kodifikasi Muslim dan lainnya.
Permasalahannya adalah memahami dhamir (kata ganti) ‘hu’ dalam redaksi ‘sya’rihi wa adzfarihi’, apakah dhamir itu merujuk kepada pelaku penyembelih kurban atau merujuk kepada ternak kurbannya?
Maka memahami teks hadits seperti ini masuk kategori ijtihadiyah. Karena masuk ranah ijtihadiyah, maka semestinya dicari berbagai qarinah yang dapat mempertajam hasil ijtihad tersebut.
Tafsir Dhamir
Jika yang dimaksud dhamir tersebut merujuk kepada pelakunya, maka muncul pertanyaan, apa relevansi antara potong kuku dan cukur rambut dengan orang yang hendak berkurban? Bukankah sunah fitrah potong kuku pada setiap Jum’at?
Sementara potong rambut kepala tidak termasuk sunah fitrah, sampai-sampai rambut Rasulullah SAW dikabarkan dalam syamail-nya menjuntai ke bahunya? Lalu jika yang ingin berkurban seorang wanita, apa kaitannya dengan potong rambut?
Sementara ada yang berspekulasi dikaitkan dengan manasik haji, sebagaimana yang difirmankan Allah SWT
وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ
Dan janganlah kamu mencukur kepalamu hingga sampainya ternak kurban di tempat penyembelihannya.(al-Baqarah 196).
Mengaitkan etika penyembelihan ternak kurban dengan ayat di atas jelas tidak mungkin, karena tahalul orang yang haji (mencukur rambiut) boleh dilakukan sebelum atau sesudah penyembelihan kurban. Sementara penyembelihan kurban terkait Idul Adha tidak boleh dilakukan sebelum shalat, melainkan dilakukan sesudah shalat (Idul Adha).
Korelasi Potong Kuku dan Bulu Hewan Kurban
Berbeda jika dhamir ‘hu’ dalam teks hadits di atas dirujuk kepada kuku dan rambut (bulu) binatang yang hendak disembelih. Semestinya bintang itu harus dijaga kondisinya sehingga tetap prima saat disembelih.
Penulis pernah ke pusat peternakan Tapos dan menyaksikan kuku-kuku domba yang disiset sedemikian rupa, bahkan penulis juga pernah melihat tayangan di YouTube teknologi pemotongan kuku sapi yang sangat canggih.
Setelah penulis konfirmasikan ternyata penyisetan (pembersihan) kuku-kuku ternak itu berdampak terhadap kesehatan binatang itu. Namun dokter hewan memberi warning agar tidak melakukannya dalam durasi satu bulan jika hewan itu hendak disembelih, karena dapat berdampak stress.
Penulis berpikir jika dokter hewan memberi durasi satu bulan, namun Rasulullah SAW hanya memberi durasi sepuluh hari. Yakni sejak awal bulan Dzulhijah hingga umat menyelesaikan shalat Idul Adha sampai akhir hari Tasyrik.
Kuku sebagai Pisau Zaman Dulu
Sisi lain ternyata sisetan kuku binatang merupakan silet (pisau) bagi masyarakat tempo dulu. Hal ini dapat dicermati hadits berikut ini:
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا لَاقُو الْعَدُوِّ غَدًا وَلَيْسَتْ مَعَنَا مُدًى قَالَ مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ عَلَيْهِ اسْمُ اللَّهِ فَكُلْ لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفُرَ وَسَأُحَدِّثُكَ أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفُرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ قَالَ وَأَصَابَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهْبًا فَنَدَّ مِنْهَا بَعِيرٌفَسَعَوْالَهُ فَلَمْ يَسْتَطِيعُوا فَرَمَاهُ رَجُلٌ بِسَهْمٍ فَحَبَسَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِهَذِهِ الْإِبِلِ أَوْ قَالَ لِهَذِهِ النَّعَمِ أَوَابِدَ كَأَوَابِدِ الْوَحْشِ فَمَا غَلَبَكُمْ فَاصْنَعُوا بِهِ هَكَذَا
Rafi’ bin Khadij berkata: Wahai Rasulullah, kita bertemu dengan musuh pada esok hari dan kita tidak memiliki pisau (untuk menyembelih). Rasulullah bersabda: Darah yang mengalir dan disebutkan basmalah, maka makanlah selain gigi dan kuku. Aku beritahukan kepada kalian, gigi termasuk tulang.
Sedang kuku termasuk pisau orang Habasyah. Rafi’ bin Khadij berkata: Rasulullah pernah mendapatkan rampasan perang, yang salah satunya adalah unta yang kabur. Mereka berusaha menangkapnya tetapi tidak ada yang berhasil. Lalu ada seorang yang memanahnya dan berhasil menangkapnya.
Maka Rasulullah SAW bersabda: Dalam unta ini atau hewan ternak ini terdapat suatu sikap yang buas, jika kalian mendapatkannya lakukan seperti itu (hadits shahih dikeluarkan Ahmad: 15806/15245).
Adapun terkait rambut (bulu) hewan, sungguh sangat tragis jika di musim dingin atau panas bulu hewan itu dicukur, pasti berdampak pada kondisi hewan tersebut. Bahkan bulu binatang itu dapat dihimpun untuk dijadikan bahan kain woll.
Sehingga pesan moral yang dapat dicermati jika seseorang sudah menentukan hewan itu sebagai ternak kurban yang hendak disembelih, tentunya jangan lagi ada berfikiran membisniskan bulunya. Tolong memahami hadits seperti ini jika seseorang berada di tempat kelahiran syariatnya, di Indonesia justru bulu itu banyak yang dibakar, atau dimanfaatkan yang lain.
Kesimpulan
Jika diperhatikan secara seksama, bukan atas dasar apriori terhadap pendapat orang lain atau fanatik terhadap pendapat gurunya sendiri, Allah tentu membukakan pintu hidayah untuk dapat memahami mana dari dua interpretasi hadits tersebut yang lebih dekat pada kebenaran. Sebagai pamungkas, penulis menemukan redaksi yang spesifik berikut ini:
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلممَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ
Dinarasikan Umu Salamah RA, Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang memiliki ternak yang hendak disembelih sebagai kurban, jika telah masuk hilal Dzulhijah (masuknya tanggal satu Dzul Hijah), maka sekali-kali janganlah ia mencukur rambut (bulunya) dan memotong kukunya sedikitpun, sehingga ia menyembelihnya. (HR Muslim: 1977; Abu Dawud: 2791; Ibnu Hibban: 5917; dan Abu Ya’la: 6917.
Penekanan nasihat Rasulullah jelas ditujukan kepada binatang yang hendak disembelih sebagai kurban, bukan pelakunya. Sehingga kondisi binatang itu sangat prima saat disembelih. Wallahu a’lam. (*)
Artikel ini bisa juga di baca di PWMU.CO
Editor Mohammad Nurfatoni