Ikhtilaf Tanawwu’
Pendapat Majelis Tarjih yang terhimpun di dalam HPT dan yang selama ini dipedomani oleh warga Muhammadiyah dapat disebut sebagai perwujudan ikhtilaf tanawwu’.
Prinsip kebenaran tunggal (al-mushīb wāhid; yang benar hanya satu) tidak berlaku di ikhtilāf tanawwu’. Oleh karena itu Muhammadiyah tidak menganggap pendapatnya paling benar, tetapi tetap meyakini putusan-putusan yang dihasilkan sudah benar menurut kriteria ketarjihan dan menjadi pedoman yang mengikat bagi warga Muhammadiyah secara umum karena dalil dan argumen yang digunakan pada waktu pengambilan putusan dianggap paling tepat dan paling kuat.
Dengan pernyataan ini pula sebenarnya Muhammadiyah sedang mengajari kita untuk bersikap bijak dalam memedomani pendapatnya, tidak mengklaim paling benar dan tetap mengembangkan toleransi dalam perbedaan pandangan. Penekanan Muhammadiyah kepada warganya untuk bersikap toleran itu dapat juga dipahami dari narasi yang jelas di dalam HPT.
Misalnya di dalam kitab shalat. Setiap kali HPT menentukan satu pilihan bacaan di dalam shalat pasti setelahnya ada keterangan tambahan yang mempersilahkan seseorang mengamalkan bacaan lainnya sesuai dengan hadits yang dipedomaninya.
Narasi tambahan ini sebenarnya bukan hanya menghargai pilihan berbeda bagi yang non warga Muhammadiyah, tetapi secara tidak langsung juga memberi peluang bagi warga Muhammadiyah yang memiliki kompetensi keulamaan untuk berbeda dengan apa yang sudah ditentukan di dalam HPT, apabila dalil yang dipedomani dianggap lebih kuat dari dalilnya majelis tarjih.
Ini karakter penting di dalam HPT yang harus diketahui oleh warga Muhammadiyah khususnya untuk menjawab beberapa tudingan sinis terhadap paham keagamaan Muhammadiyah yang terkesan eksklusif. Kalau kita memahami bahwa HPT itu sangat toleran dan terbuka, maka kita dapat menegaskan bahwa pernyataan salah satu oknum ustaz kelompok salafi bahwa HPT adalah kitab suci yang tidak boleh dilanggar oleh warga Muhammadiyah adalah salah besar dan ini tuduhan penuh kedengkian tanpa dasar keilmuan yang cukup.
Bahkan lebih dari itu pada hakikatnya Muhammadiyah memberi ruang dan membuka peluang bagi warga persyarikatan untuk berbeda dengan keputusan HPT. PDM dan PCM tertentu bisa juga melakukan kajian ulang terhadap HPT dan menghasilkan produk hukum yang berbeda. dan hasilnya bisa berlaku secara terbatas di wilayahnya tetapi tidak dianggap sebagai pendapat Muhammadiyah secara umum.
Sebagai contoh adalah Majelis Tarjih PDM Lamongan yang pernah menyelenggarakan halaqah tarjih dalam rangka meninjau ulang putusan tarjih tentang lafadz al-shalātu khayrun min al-nawm di adzan Subuh. Setelah melakukan kajian tarjih (bahts al-masā’il) diputuskan bahwa adzan Subuh tidak memakai tatswīb, kemudian hasil putusannya ditanfidz secara terbatas di lingkungan PDM Lamongan. Maka saat ini tidak ditemui masjid-masjid Muhammadiyah di Lamongan menggunakan tastwīb ketika adzan shubuh.
Tapi ini hanya berlaku untuk Lamongan dan prosedur ketarjihannya membolehkan yang demikian. Bahkan beberapa figur ulama Muhammadiyah secara individu juga ada yang amalannya berbeda dengan putusan tarjih.
HPT bukan hanya toleran tetapi juga terbuka untuk dikritisi oleh siapa saja. Muhammadiyah dengan sadar membuka diri untuk dikritisi bahkan muhammadiyah pun siap mengkaji ulang dan mengubah putusannya apabila ditemukan dalil dan argumen yang dipandang lebih kuat dari pendapat dan argumen majelis tarjih yang semula
Wawasan ketarjihan dengan prinsip manhaj yang terbuka dan toleran semacam ini memang harus disampaikan dengan objektif. Ini bukan untuk melemahkan kedudukan HPT sebagai pedoman dan panduan warga Muhammadiyah dalam beragama. Juga tidak dalam rangka mengurangi kredibilitas dan kualitas kefakihan ulama tarjih tetapi ini kita jadikan sebagai bentuk pembelajaran semua komunitas Islam bahwa beragama itu bukan sekedar fanatik organisasi dan figur ustadz sentris seperti fenomena mayoritas halaqahsaat ini tetapi beragama itu harus yang autentik berdasarkan pada dalil. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni