Membuka Pintu Ijtihad: Karakter Manhaj Tarjih yang Terbuka dan Toleran; Oleh M. Rifqi Rosyidi, Anggota Lajnah Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim; Mudir Pondok Modern Muhammadiyah Paciran, Lamongan.
Tarjihjatim.pwmu.co – Pintu ijtihad selalu terbuka. Itulah salah satu pesan penting Risalah Islam Berkemajuan yang disahkan dalam Muktamar Ke-48 di Surakarta Tahun 2022.
Sebenarnya pernyataan sikap terbukanya pintu ijtihad sampai kiamat sudah diusung oleh KH Ahmad Dahlan ketika mendirikan Muhammadiyah dengan melakukan reorientasi dan reinterpretasi terhadap teks-teks agama sebagai upaya mengembangkan keberagamaan yang lebih autentik dan dinamis.
Gara-gara sikap ini pula secara teologis Muhammadiyah dituduh menganut paham Muktazilah, karena secara historis yang mencetuskan semangat ini adalah tokoh-tokoh seperti Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh yang wawasan keislamannya dikategorikan sebagai perwujudan neo Muktazilah.
Tetapi tuduhan tersebut akhirnya meredup setelah diketahui bahwa Ibnu Taimiyah juga berpendapat bahwa pintu ijtihad dibuka kembali dengan kriteria yang terukur setelah sebelumnya ulama garis lurus menyatakan pintu ijtihad ditutup karena pada saat itu banyak figur tendensius yang tidak kompeten secara arogan melakukan interpretasi terhadap teks-teks agama sesuai dengan kepentingannya.
Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan yang mengedepankan ilmu sebagai landasan amal ibadahnya sangat konsisten mendorong umat Islam untuk aktif melakukan pengkajian ulang terhadap teks-teks agama sehingga spirit ajarannya selalu hidup dan mampu menjawab tantangan keberagamaan yang semakin kompleks.
Kalau pintu ijtihad ditutup rapat itu artinya jangkauan teks agama sangat terbatas, praktik keberagamaan terlihat kaku dan literal sehingga memberi kesan teks agama tidak memiliki roh yang akhirnya banyak persoalan hidup yang tidak terselesaikan baik secara normatif maupun secara teologis. Padahal sebagai ajaran yang rahmatan lil ‘ālamīn secara prinsip memiliki sumber perundang-undangan yang syāmil (lengkap) kāmil (sempurna), dan shālih (sesuai) untuk semua tempat dan waktu.
Tradisi literasi yang dikembangkan Muhammadiyah ini dinarasikan secara negatif oleh beberapa oknum dengan melemparkan tuduhan inkonsistensi dan bahkan mempertanyakan originalitas paham Muhammadiyah sekarang. Sebagaimana yang pernah viral di media sosial sebaran potongan video seorang kiai yang berbekal buku kertas buram cetakan mesin stensil dengan sangat provokatif menyatakan bahwa Muhammadiyah zaman ini tidak lagi berpaham Islam seperti Muhammadiyah yang digagas oleh Ahmad Dahlan dalam buku diklaim terbitan Muhammadiyah tersebut.
Bagi internal warga Muhammadiyah pernyataan pintu ijtihad selalu terbuka ini sebenarnya memiliki konsekuensi ideologis yang berat karena secara tidak langsung juga menyatakan bahwa Muhammadiyah berpeluang mengubah hasil putusan tarjih dan fatwanya.
Padahal data di lapangan menunjukkan tidak semua warga Muhammadiyah siap menerima konsekuensi ini, apalagi ketika diketahui ada beberapa kalangan warga Muhammadiyah yang tata cara ibadahnya HPT (Himpunan Putusan Tarjih) minded, di mana dalam pandangannya loyalitas warga Muhammadiyah secara ideologis dapat dinilai dari kesesuaian ibadahnya dengan fatwa dan putusan tarjih.
Prinsipnya warga Muhammadiyah harus memahami bahwa ketika majelis tarjih mengambil sebuah keputusan hukum tidak ada satu pun statemen dalam dokumen resmi Persyarikatan yang menganggap keputusan tersebut paling benar dan yang selainnya salah. Meskipun demikian Majelis Tarjih meyakini pendapatnya benar karena diputuskan melalui mekanisme pengambilan hukum yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena landasan dalil naqli, argumen aqli dan metodologi yang digunakan dianggap paling akurat pada waktu pengambilan keputusan tersebut.
Inilah sebenarnya karakter keberagamaan manhaj tarjih yang berkemajuan dan dinamis.
Baca sambungan di halaman 2: Mengubah Pendapat Bukan Aib