
Jalan Sukses dan Takwa
Itulah tafsir makna amalan terbaik yang ditunjukkan oleh lafal al-khayrat dan muhsin. Kedua istilah terkait dengan karakter orang yang sukses (muflihun) dan karakter orang bertakwa (muttaqun) yang disebutkan dalam al-Qur’an. Menariknya, amalan terbaik yang terkait dengan karakter orang sukses dan orang bertakwa itu berkorelasi ayat (munasabat ayat) dengan langkah pengobatan berikutnya. Sebutlah dengan istilah Jalan Sukses dan Takwa.
Dalam al-Qur’an Surah al-Mukminun1-2 penegasan tentang orang yang sukses (muflihun) adalah mereka yang beriman. Orang beriman menjadi sukses, ketika mereka khusyu’ dalam shalatnya. Shalat di sini adalah lafal umum (lafazh ‘am) , dapat jadi yang dimaksudkan adalah semua shalat yang disyari’atkan, baik shalat fardhu ataupun shalat sunnah rawatib, atau shalat-shalat sunah lainnya, seperti shalat dhuha, tahajjud, dan qiyam al-layl, baik shalat sunnah yang muakkadah ataupun yang ghayr mu’akkadah.
Salah satu langkah pengobatan adalah mendirikan shalat dengan khusyu’. Fakhr al-Din al-Razi dalam Tafsir Mafatih al-Ghayb menjelaskan bahwa khusyu’ adalah wajib dilakukan dalam pelaksanaan shalat. Lafal khusyuk ditafsirkan sebagai perbuatan hati dan badan.
Sebagai perbuatan hati, kekhusyu’an dalam shalat dicapai dalam kondisi hati yang merendah (khudhuk) dan merasa hina (tadzallul) sebagai bentuk penyembahan dan ketaatan kepada Allah Swt., (al-ma’bud). Menggapai Jalan Sukses dan Takwa dalam kaitan ini adalah mendirikan shalat-shalat tersebut dengan penuh kekhusyu’an.
Secara ritual-sosial, pelaksanaan shalat khusyu’ berimplikasi pada pencegahan dari perbuatan keji dan munkar (al-Qur’an Surah al-‘Ankabut [29]: 45); dan secara sosial-budaya menghadirkan pola kepedulian yang berkelanjutan. Oleh karena itu, seringkali perintah mendirikan shalat diikuti oleh perintah mengeluarkan zakat (al-Qur’an Surah al-Bayyinah 5).
Zakat fitrah dan harta benda yang wajib dilaksanakan oleh orang beriman menegaskan suatu program kepedulian yang tidak sekedar karitatif, tetapi berkelanjutan. Berkelanjutan dan tidak karitatif menegaskan bahwa tujuan utama zakat fitrah dan zakat harta benda adalah upaya menghapuskan kemiskinan diubah menjadi kesejahteraan.
Setiap tahun, ketika zakat dikeluarkan baik dalam konteks zakat fitrah (setiap idul fitri) dan zakat harta benda (setiap hawl), diharapkan berkuranglah mustahiq zakat (orang-orang yang berhak menerima zakat), bahkan tiadalah mereka berubah menjadi muzakki (orang yang harus membayar zakat).
Belum lagi, petunjuk tentang keberlanjutan dan tidak karitatifnya program kepedulian dalam syariat zakat, ditambahi dengan syariat infak dan sedekah yang hukumnya sunnah (al-Qur’an Surah al-Baqarah 261). Dapat diprogramkan dengan indah dan dahsyat.
Sebutlah misalnya umat Islam di Indonesia yang berkategori muzaki dari 170 juta jiwa berjumlah 70 juta. Infak dan sedekah terkumpul setiap hari Rp. 10.000,- per jiwa. Maka terkumpullah uang sejumlah Rp. 700.000.000.000,- (tujuh ratus miliar rupiah). Betapa sangat kaya dan sangat bisa umat Islam menyelesaikan persoalan kemiskinan dengan program kepedulian berkelanjutan dan tidak karitatif tersebut. Tinggal digerakkan sebagai program konkret.
Jalan sukses dan takwa ini jika dijalankan sebagai resep obat akan membentuk karakter hebat. Generasi Stroberi yang sudah sangat kreatif ditambahi pengobatan untuk membentuk diri mereka dibiasakan menjadi generasi yang selalu fokus berbuat yang terbaik dengan landasan keimanan.
Kreativitasnya akan hadir menjadi kreativitas yang terbaik, yakni yang maslahat dan manfaat untuk semua kalangan. Hasil kreativitasnya dipergunakan sebagai bentuk kepedulian yang berkelanjutan dan tidak karitatif. Maka, lahirlah suatu generasi masa depan yang sangat kaya raya, dengan keimanan yang kuat, serta kepedulian yang berkelanjutan dan tidak karitatif. Ini harus menjadi narasi dan roadmap jalan sukses dan takwa. Suatu jalan narasi takwa dengan dasar keimanan dan keilmuan. Inilah yang disebut dalam al-Qur’an Surah al-Baqarah 282, ‘wattaqulLah wa yu‘allimukumulLah’ yang oleh Ibn ‘Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyahdisebut sebagai jalan penyingkapan ilmu.
Jalan Gerakan Spiritual dan Gerakan Ilmu
Jalan ini juga perlu ditambahi dengan berpuasa. Menahan diri dari hawa nafsu. Menahan diri dari makan minum secara berlebihan. Menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa. Puasa dalam al-Qur’an disebut dengan istilah shawm dan shiyam. Dalam kandungan ayatnya (al-Qur’an Surah Maryam 26), puasa dengan lafal shawm lebih fokus pada penekanan menahan diri dari hawa nafsu, yakni nafsu berbicara. Berbicara yang dapat jadi berasal dari ungkapan pikiran dan hati, yang dapat jadi ketika diungkapkan menyakiti pihak lain. Sedangkan, shiyam dalam kandungan ayat al-Qur’an Surah al-Baqarah 183, lebih ditekankan pada puasa secara dhahir, terkait makan minum dan perbuatan dhahir lain yang dapat membatalkan puasa.
Tentang makan dan minum dalam konteks zaman millenial ini banyak problem dari sisi kandungan zat-zatnya. Makanan instan, menjadi penyebab obesitas, dan kurang menyehatkan. Dalam kaitan ini, berpuasa baik sebagai shiyam ataupun shawm menjadi solusi relevan untuk mencegah dan mengobati penyakit akibat keberlebihan makanan dan minuman serta pola makan yang kurang baik.
Prinsip dalam memahami suatu perilaku untuk kebaikan pribadi atau bersama, membutuhkan narasi dengan wawasan yang luas dan kekinian (up to dated). Langkah pengobatan terakhir yang dapat dilakukan adalah tadabur al-Qur’an. Langkah pengobatan ini merupakan simbol tentang narasi dengan wawasan luas dan kekinian. Yang menarik, al-Qur’an, seperti termaktub dalam kandungan al-Qur’an Surah Shad 29, melahirkan keberkahan, dengan syarat jika dilakukan tadabur (pemahaman yang menjadi landasan aktivitas gerakan) dan tadzakkur (perenungan yang melahirkan kesadaran untuk aktivitas gerakan yang menjadi landasan gerakan berkelanjutan dan tidak karitatif) terhadap isi kandungan al-Qur’an. Jadi, al-Qur’an dipahami sebagai landasan aktivitas gerakan, dan direnungkan sebagai kesadaran untuk aktivitas gerakan yang dapat dijadikan sebagai landasan gerakan berkelanjutan yang tidak karitatif, yang maslahat dan manfaat.
Akhirul kalam, langkah pengobatan untuk generasi stroberi ini dapat menjadi jalan kesembuhan. Kesembuhan yang melahirkan kesadaran untuk berbuat yang terbaik tidak hanya untuk diri sendiri, namun juga untuk semua secara bersama. Wallahu a’lam. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni