Tak Ada Kewajiban Mengikuti Mazhab
Keempat imam mazhab diatas memiliki hubungan yang sangat spesial sebagai guru dan murid, tetapi tidak ditemukan satu pun di antara mereka yang menjadikan pendapat gurunya sebagai standar kebenaran mutlak yang mengikat danbtidak boleh diselisihi. Begitu pula tidak pernah terekam dalam sejarah mereka menyalahkan apalagi mentahdzīr pendapat imam-imam lain.
Mereka sangat menekankan pengikutnya untuk berpegang kepada hadits, dan tidak dibenarkan fanatik kepada produk hukum yang dihasilkan dari pendekatan dan metodologi ijtihad gurunya. Sehingga secara global dapat dikatakan bahwa beragama yang otentik itu adalah beragama yang mengembangkan semangat idzā shahha al-hadīts fahuwa madzhabī(apabila hadits itu shahih maka itu menjadi pendapatku) sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Ābdīn dalam kitab Hāsyiyahnya.
Dalam perspektif keberagamaan Muhammadiyah memang tidak ada kewajiban bagi umat Islam untuk mengikuti satu mazhab tertentu. Meskipun demikian bukan berarti muhammadiyah menafikan pendapat para ulama dan imam mazhab terdahulu, karena di dalam pokok manhaj tarjih secara tegas dinyatakan bahwa pendapat-pendapat imam madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum sepanjang sesuai dengan jiwa Al-Quran dan al-Sunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat.
Dengan demikian ajakan untuk tidak terikat dengan mazhab fikih tertentu itu bukan gagasan baru. Meskipun demikian tetap saja banyak tuduhan negatif ditujukan kepada Muhammadiyah ketika mengambil sikap tidak terikat dengan mazhab tersebut. Salah satunya Muhammadiyah dianggap terlalu skripturalis dalam memahami nash agama sehingga produk hukum yang diputuskan terkesan leterlek, garing dan kaku.
Padahal tidak demikian dan tuduhan ini pada hakikatnya sangat bertentangan dengan tradisi keilmuan muhammadiyah yang menekankan pemahaman komprehensif melalui pendeketan-pendekatan burhānī, bayānī dan ‘irfānī.
Tidak bermazhab dengan salah satu dari mazhab yang berkembang bukan berarti Muhammadiyah antimazhab, karena prinsipnya mengikuti pendapat salah satu ulama tertentu itu pilihan. Lebih dari itu semangat al-rujū’ ila al-kitāb wa al-sunnah juga bukan berarti mengabaikan pembacaan dan syarah dari para ulama terhadap nash-nash tersebut.
Produk hukum yang dihasilkan dari pembacaan para ulama terhadap sebuah teks agama tertentu bagi Muhammadiyah merupakan khazanah intelektual yang harus diapresiasi. Tetapi bukan diposisikan sebagai sebuah kebenaran yang mengikat. Pemikiran para ulama terdahulu tetap diapresiasi sebagai salah satu acuan dan alat bantu dalam memahami nash terkait sehingga menghasilkan produk hukum yang lebih komprehensif. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni