Muhammadiyah Lebih Salafi
Maka berdasarkan pada data-data tersebut tidaklah berlebihan kalau kita mengklaim bahwa Muhammadiyah bukan saja ber-manhaj salafi, tetapi secara ekstrem bisa dinyatakan bahwa sikap Muhammadiyah dalam beragama lebih salafi daripada kelompok-kelompok yang mengaku salafi.
Mengapa demikian? Karena selama ini perbedaan sudut pandang di kalangan “ulama-ulama” Muhammadiyah terhadap sebuah nash tidak menyebabkan seseorang yang pendapatnya berbeda mendirikan Muhammadiyah reformasi atau Muhammadiyah perjuangan. Kondisi ini berbeda dengan halaqah-halaqah salafi yang sangat rentan pecah.
Fakta ini sangat menarik karena banyak kasus ketika satu figur ustadz dalam satu kelompok salafi berbeda pandangan dengan figur yang lain dalam sebuah masalah ijtihadiah, banyak yang memisahkan diri dengan membentuk halaqah baru dan saling mentahdzir dan menyesatkan satu sama lain.
Fenomena keagamaan kelompok-kelompok salafi ini sangat berbeda jauh dengan tradisi keberagamaan ulama-ulama salaf terdahulu seperti imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad, yang sangat memahami keberagaman sudut pandang dan metodologi dalam memahami sebuah nash, sehingga tidak ada klaim kebenaran milik imam madzhab karena semangat ijtihad mereka merujuk kepada sebuah semangat idza shahha al-hadits fahuwa madzhabī.
Maka bagi mereka yang bersikap apriori terhadap Muhammadiyah dan hanya mengetahui dari mendengarkan qila wa qala, serta melihat fenomena amalan beberapa warganya atau statemen beberapa figur pimpinannya, jangan pernah menjustifikasi dengan ujaran yang menyesatkan yang menimbulkan keresahan dan kegaduhan dalam hidup bernegara dan beragama.
Dan bagi warga Muhammadiyah harus semakin berdaya memahami karakter gerakan Persyarikatan sehingga memiliki kepercayaan diri terhadap keberagamaannya dan tidak gagap menyikapi beragamnya sudut pandang dan praktik keagamaan.
Tetapi kalau paham-paham keagamaan semacam salafi ini dijadikan alasan untuk menguasai aset dan pengalihan kepemilikan, maka sikap ini yang harus diwaspadai dan dilawan karena telah menggunakan narasi-narasi agama untuk menghasut dan mengambil hak milik Persyarikatan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni