
Benarkah Wujudul Hilal Usang secara Astronomis? Oleh Andi Sitti Mariyam, Anggota Divisi Hisab dan Falak Majelis Tarjih dań Tajdid (MTT) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim
Tarjihjatim.pwmu.co – Tulisan ini hendak menjawab pertanyaan benarkah wujudul hilal terinspirasi oleh teori geosentris yang oleh karenanya usang secara astronomis. Pernyataan ini tengah menjadi polemik di tengah persoalan perbedaan setiaap penentuan awal bulan Hijriah. Oleh karena itu dalam tulisan ini penulis hendak menjawab dalam perspektif astronomi.
Teori Geosentris adalah model alam semesta yang menyatakan bumi sebagai pusat alam semesta, termasuk matahari dan objek-objek Tata Surya. Teori Geosentris Ptolomeus ini juga memahami bahwa masing-masing objek langit tersebut memiliki orbitnya masing-masing dalam perjalanannya mengelilingi bumi.
Dalam hal kesimpulan bahwa bumi adalah pusat tata surya, jelas ini dianggap usang dan tergantikan dengan teori heliosentris yang menyatakan matahari sebagai pusat tata surya. Namun demikian bukan berarti cara pandang geosentris sama sekali ditinggalkan karena dalam beberapa aspek memang diperlukan, di antaranya untuk memposisikan objek langit terhadap pengamat yang ada di bumi.
Sistem Koordinat Geosentrik Ekuatorial
Seperti layaknya sistem koordinat bumi yang memetakan lokasi di bumi dalam lintang dan bujur, sebuah titik lokasi di langit juga memerlukan sistem koordinat. Terdapat beberapa sistem koordinat dalam astronomi yaitu, koordinat horizontal, koordinat ekuatorial, koordinat ekliptika, koordinat galaktik, dan koordinat super galaktik.
Salah satunya yaitu koordinat ekuatorial, adalah koordinat geosentrik yang menempatkan pusat bumi sebagai titik pusat koordinat dan ekuator langit sebagai bidang acuan. Koordinat ini lazim digunakan dalam pengamatan astronomi, baik professional maupun amatir. Ketika seorang pengamat di bumi menggunakan data koordinat benda langit ekuatorial berupa data asensio erekta (RA) dan deklinasi, maka ini menggunakan cara pandang yang geosentris.
Untuk keperluan perencanaan rukyat, juga diperlukan data asensio erekta dan deklinasi obyek-obyek langit. Dalam teknis perhitungan penentuan berbagai persoalan falak kita menggunakan data-data koordinat yang geosentrik itu. Itu berarti kita memerlukan cara pandang yang geosentrik saat menggambarkan posisi benda-benda langit.
Oleh karena itu, tidak ada salahnya memberikan gambaran posisi benda langit dengan cara pandang geosentrik, justru itu diperlukan untuk mempermudah penjelasan. Toh dengan memposisikan benda-benda langit dalam cara pandang yang geosentrik itu tidak membuat kita serta-merta menolak teori Heliosentrik matahari sebagai pusat Tata Surya. Kita juga tidak menolak teori matahari yang bergerak mengelilingi pusat galaksi. Semua teori-teori itu dipergunakan dalam keperluannya masing-masing.
Kerangka geosentris dengan sederhana dapat menjelaskan peredaran benda-benda langit yang tampak dari bumi. Namun jika digunakan untuk menjelaskan mekanika Tata Surya dan perjalanan ruang angkasa maka kerangka heliosentris lebih sesuai.
Teori Heliosentris memang cukup diterima untuk menjelaskan pusat Tata Surya, namun ketika harus menjelaskan fenomena galaksi, ekstra galaksi atau lingkup yang lebih luas di alam semesta, heliosentris tidak sesuai lagi. Misalnya studi tentang galaksi dan ekstragalaksi lebih mudah jika Matahari diperlakukan bukan sebagai pusat alam semesta, melainkan berputar mengelilingi pusat galaksi kita. Sekali lagi cara pandang yang digunakan tergantung pada keperluannya masing-masing. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni